Jumat, 26 Februari 2010

Hamzah: Pejuang dan Pahlawan Perang Badar dan Uhud



Di antara sahabat Nabi saw yang terkenal paling pemberani adalah paman beliau sendiri, Hamzah bin Abdul Muthalib. Beliau seorang lelaki Arab yang paling berani, pejuang yang pantang mundur, dan komandan perang Islam yang cerdas dalam beberapa peperangan yang sangat menentukan masa depan Islam, seperti perang Badar dan Uhud. Dengan keahlian perangnya yang mumpuni, dia menjadi salah seorang penentu kemenangan perang Badar dengan beberapa sahabat Nabi lainnya yang gagah berani, meskipun saat itu jumlah pasukan kaum Muslimin sedikit.

Hamzah senantiasa berada di sisi kemenakannya sendiri, Nabi Muhammad saw dan di saat tersulit pun ia selalu setia membela risalah yang dibawa oleh Rasulullah saw. Pemimpin dan pembesar Quraisy takut dan khawatir akan keberanian beliau. Dan ketakutan itu membuat mereka tidak punya nyali untuk mencegah laju dakwah Rasulullah saw. Sehingga bisa dikatakan, Hamzah memainkan peran penting dalam mempertahankan dan menjaga Islam serta membela Nabi demi keberlangsungan dan keabadian ajaran suci Islam.

Selama di Mekkah, Hamzah membantu Rasulullah saw di saat-saat genting dengan sepenuh jiwa. Beliau rela berkorban dan tak segan-segan menjadikan dirinya sebagai tumbal saat berhadapan langsung dengan kaum musyrikin.

Beliau adalah putra Abdul Muthalib dan paman Rasulullah saw. Beliau lahir pada tahun keempat sebelum peristiwa pasukan gajah (Tahun Gajah) di kota Mekkah. Di tengah masa Jahilah dan tersebarnya akidah syirik pada penduduk Hijaz, beliau tetap berpegang pada ajaran lurus Nabi Ibrahim dan dikenal sebagai pemuda yang senantiasa memberikan perlindungan kepada orang-orang lemah.

Ayahnya adalah Abdul Muthalib dan ibunya anak perempuan dari Amru bin Zaid bin Lubaid yang bernama Salmi.

Saudara Sepersusuan Rasulullah saw

Hamzah sangat dekat dengan Nabi saw. Kedekatan ini tidak hanya dari sisi spiritual namun juga dari sisi material. Tsubah, budak Abu Lahab pernah menyusui Hamzah dan sewaktu menyusui anaknya yang bernama Masruh, ia juga menyusui Nabi saw selama beberapa hari. (1) Sehingga dengan demikian, bisa dikatakan bahwa Hamzah dan Nabi adalah saudara sepersusuan.

Sewaktu Nabi saw memulai menyebarkan ajaran sucinya dan masyarakat secara bertahap menerima ajaran tauhid dan pesan-pesan Al-Qur’an, Hamzah pun sebenarnya telah mengetahui dan tertarik dengan kebenaran ajaran Ilahi dan dakwah kemenakannya, Muhammad saw. Namun demi kemaslahatan saat itu ia belum menampakkan keimanan dan keyakinannya. Ia seolah menunggu moment yang tepat untuk menunjukkan ketertarikan dan kecintaannya terhadap Islam dan Nabi Muhammad saw serta mendukung risalah Ilahi secara terang-terangan.

Karena Hamzah hidup bersama kaum musyrikin maka ia mengetahui pelbagai konspirasi mereka terhadap Nabi saw. Hal itulah yang membuatnya semakin tergugah dan tegar untuk membela Rasul saw. Setiap dakwah Islam semakin bertumbuh dan jumlah kaum Muslimin semakin bertambah maka perlawanan kaum musyrikin pun semakin hebat. Keteguhan dan ketegaran Nabi saw di jalan kebenaran dan syariat Ilahi begitu menggugah perasaan Hamzah. Beberapa tahun setelah masa pengangkatan Nabi berlalu, terbuka kesempatan bagi Hamzah untuk menunjukkan keimanan dan akidahnya. Sebagian mengatakan bahwa Hamzah masuk Islam pada tahun kedua pasca bi’tsah (masa pengangkatan Nabi), sebagiannya lagi menyakini pada tahun keenam pasca bi’tsah. Kisah mengenai masuk Islamnya beliau sangat menarik:

Setelah pengangkatan Muhammad saw menjadi Nabi, Hamzah juga mengucapkan syahadat dengan menyakini keesaan Allah Swt dan kebenaran agama yang dibawah oleh putra saudaranya. Setelah Hamzah masuk Islam, kaum Quraisy mengajukan beberapa permintaan/usulan kepada Rasulullah saw. Sebab mereka sadar bahwa laki-laki yang paling berani kini telah menyatakan keimanannya di hadapan Nabi saw, sehingga karena itu mereka tak lagi dapat mengharapkan dukungannya. Namun Nabi saw tak memenuhi satupun dari permintaan mereka.

Usai Abu Jahal menyampaikan pidatonya di tengah-tengah Kabilah Quraisy, mereka memutuskan untuk membunuh Nabi Muhammad.

Suatu hari Abu Jahal melihat Nabi di bukit Safa, lalu ia memaki Rasul. Nabi tetap saja berjalan menuju ke rumah beliau tanpa memperdulikan makian Abu Jahal. Budak Abdullah bin Jad’an yang menjadi saksi mata atas peristiwa tersebut melaporkannya kepada Hamzah. Tanpa berpikir panjang dan memikirkan akibatnya, Hamzah memutuskan untuk membalas perlakukan buruk yang didapat oleh kemenakannya. Di tengah perjalanan ia menemui Abu Jahal yang berada di tengah kerumunan orang-orang Quraisy. Tanpa memberikan kesempatan kepada yang lain untuk berbicara, ia mendekati Abu Jahal dan langsung menghantam kepalanya dengan cambuk, sehingga kepala Abu Jahal bersimbah darah. Hamzah pun berkata, “Berani kau menghina Rasulullah? Saya beriman dengan apa yang dikatakannya dan akan mengikuti jalan kemanapun dia pergi. Jika kau berani, silakan berhadapan denganku!” Dengan menghadap kepada orang-orang Quraisy, Abu Jahal berkata, “Saya telah berbuat buruk pada Muhammad, dan wajar Hamzah marah.” (2)

Ketika penyiksaan kaum Musyrikin kepada pengikut Nabi Muhammad saw semakin menjadi-jadi, beberapa sahabat beliau berhijrah ke Habasyah. Tidak berapa lama kemudian Nabi saw pun akhirnya memutuskan untuk berhijrah ke Madinah. Beberapa kelompok kaum Muslimin Yatsrib bertemu dengan Nabi saw di Mina saat mereka melaksanakan ibadah haji. Mereka berjanji bahwa jika sekiranya Rasulullah saw dan kaum Muslimin lainnya berhijrah ke Madinah maka mereka akan memberikan perlindungan terhadap umat Islam yang teraniaya tersebut.

Demi kelancaran pertemuan dan keberlangsungan perjanjian tersebut, Hamzah melindungi dan menyembunyikan pertemuan tersebut dari kaum Musyrikin. Akhirnya, setelah satu dua tahun kemudian kaum Muslimin mendapat kesempatan dan peluang untuk berhijrah. Sebelum Rasulullah saw berhijrah, beberapa kelompok terlebih dahulu berhijrah ke Yatsrib dan Hamzah ikut di antara mereka. Setibanya di Madinah, mereka menunggu detik-detik kedatangan Nabi saw.

Akhirnya Nabi saw hijrah ke Madinah. Hijrah Nabi saw ini membuat kekuatan umat Islam semakin bertambah, sekaligus membuat permusuhan kaum Musyrikin melemah. Sampai akhirnya umat Islam dan kaum musyrikin saling berhadap-hadapan pada perang Badar. Pada perang yang pertama kali ini Sayyidina Hamzah mendapat gelar asadullah wa asadurrasul (singa Allah dan Rasul-Nya). Saat itu beliau diserahi amanah oleh Rasulullah untuk menjadi komandan perang dimana bendera perang ada di tangannya. Hamzah memimpin pasukan Islam yang hanya berjumlah 30 orang untuk berhadapan dengan 300 orang dari laskar Quraisy. Peristiwa ini terjadi pada bulan Ramadhan, tahun pertama hijriyah. Meskipun tidak terjadi kontak fisik antara kedua kubu namun Hamzah merasa terhormat dan bangga ketika ditunjuk oleh Nabi sebagai pimpinan pasukan.

Epik kepahlawanan dalam Peperangan

Perkembangan dakwah Islam yang pesat membuat kaum Quraisy semakin murka dan semakin meningkatkan penyiksaan dan permusuhan mereka terhadap umat Islam. Bahkan Abu Lahab, paman Nabi saw dan istrinya berkali-kali bersikap buruk terhadap Rasulullah saw, utamanya ketika mereka bertetangga dengan beliau. Nabi saw tidak mampu berbuat apa-apa ketika kepala dan wajah beliau dilempari berbagai kotoran dan sampah serta kotoran kambing. Hamzah pun membalas tindakan setimpal yang dilakukan oleh Abu Lahab.

Sariyah (perang yang tidak diikuti Nabi saw) pertama: Rasulullah saw berhijrah dari Mekah ke Madinah pada hari Senin 12 Rabiul Awal dan bendera pertama Rasulullah saw yang berwarna putih, pada bulan Ramadhan, awal bulan ketujuh tahun pertama Hijriyah, diserahkannya kepada Hamzah, pamannya. Abu Marshad Kannas bin Hushain Ganawi, termasuk orang pertama yang masuk Islam dan sekaligus teman sebaya Hamzah, mengikatkan bendera itu di pundaknya. Rasulullah saw mengutus Hamzah dengan 30 sahabat Muhajirin menuju ke medan perang untuk menghadapi 300 orang pasukan Quraisy. Pasukan Quraisy ini dipimpin oleh Abu Jahal. Saat itu pasukan musuh telah melakukan perjalanan dari Syam dan ingin kembali ke Mekah. Di salah satu desa di tepi laut merah dua pasukan ini bertemu. Mujaddi bin Amru Jahni yang memiliki hubungan baik dengan kedua belah pihak menjadi mediator dan berusaha keras agar kedua kelompok berunding dan mencegah terjadinya peperangan.

Pada bulan Safar tahun awal Hijriyah, Rasulullah saw ikut serta dalam Ghazwah Abwa (perang yang diikuti Nabi saw) Abwa untuk pertama kalinya. Abwa adalah tempat yang berjarak 37 km di antara Mekah dan Madinah (3). Saat itu beliau memberikan bendera putih kepada Hamzah. Dalam Ghazwah ini, Rasulullah saw bertekad untuk menghadapi kafilah Quraisy, namun beliau tidak bertemu langsung dengan pasukan musuh.

Pada bulan Jumadil Akhir tahun kedua Hijriyah, Rasulullah saw berangkat menuju Gazhwa Dzul’asyirah dan lagi-lagi beliau memberikan bendera putih kepada Hamzah. Beliau bergerak bersama 150 pasukan sukarelawan Muhajirin. Kelompok pasukan ini memiliki 30 ekor unta dan mereka saling bergantian mengendarainya. Ketika Rasulullah saw dan sahabat-sahabatnya tiba di Dzul’asyirah, pasukan kaum kafir Quraisy telah melewatinya sejak beberapa hari sebelumnya. Ketika kembali pun, pasukan musuh melewati tepian pantai sehingga tidak bertemu dengan Rasulullah saw dan para sahabatnya. (4)

Pada 17 Ramadhan tahun kedua Hijriyah terjadi perang antara kaum Muslimin dengan kaum kuffar Quraisy yang dikenal dengan nama perang Badar. Sewaktu Rasulullah saw merapikan barisan kaum Muslimin, tiba-tiba angin berhembus dengan sangat kencang yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dan angin kencang ini bertiup berulang sampai beberapa kali. Angin kencang ini sebagai pertanda kedatangan para malaikat. Yang pertama, Malaikat Jibril dengan seribu malaikat lainnya datang menghadap Rasulullah saw, yang kedua Malaikat Mikail dengan seribu malaikat di sebelah kanan Rasulullah saw dan yang ketiga Malaikat Israfil dengan seribu malaikat disisi kiri Rasulullah saw. Kesemua malaikat ini mengenakan sorban (ikat kepala) yang terbuat dari cahaya yang berwarna hijau, kuning dan merah yang menggelantung sampai di pundak mereka, dan mereka menggantungkan bulu dan rambut di dahi unta-unta mereka. Rasulullah saw bersabda kepada sahabat-sahabatnya, bahwa mereka adalah malaikat-malaikat yang akan memberikan bantuan dan dukungan kepada kaum Muslimin. Para malaikat telah menandai diri mereka, maka kalian pun hendaklah melakukan hal yang sama. Lalu para sahabat mendandai topi besi yang dikenakan di kepala mereka dengan bulu onta(5)

Orang yang pertama kali tiba di medan pertempuran dari kaum Muslimin adalah Muhajja` (budak yang dimerdekakan oleh Umar bin Khattab). Kaum musyrikin berteriak dengan keras, “Hai Muhammad, siapa saja yang punya hubungan dengan kami, kirimlah dia untuk berperang dengan kami.” Nabi Muhammad saw berkata kepada Bani Hasyim, “Bangkitlah! Berperanglah demi kebenaran yang dengannya Nabi kalian diutus dan mereka datang untuk memadamkan cahaya kebenaran itu.!!!”

Hamzah bin Abdul Muthalib, Ali bin Abi Thalib dn Ubaidah bin Harits bin Muthalib keluar dari barisan dan menuju mereka. Karena ketiga orang tersebut mengenakan penutup kepala sehingga sulit untuk dikenali. Utbah berkata, “Berbicaralah sehingga kami dapat mengenali suara kalian!” Hamzah berkata, “Sayalah Hamzah, putra Abdul Muthalib, singa Allah dan singa Rasul-Nya.” Utbah berkata, “Ya, kamu adalah pembesar, lantas siapa dua orang bersamamu ini?” Hamzah menjawab, “Ali bin Abi Thalib dan Ubaidah bin Harits”. Utbah berkata, “Dua orang bersamamu juga adalah juga orang-orang besar”.

Waktu itu Ali bin Abi Thalib berhadapan dengan Walid bin Utbah dan berhasil membunuhnya. Sementara Hamzah berduel dengan Utbah dan juga berhasil membunuhnya dengan hanya dua pukulan. Dan Ubaidah bin Harits sahabat Nabi yang paling muda saat itu berdiri menghadapi Syaibah. Syaibah memukulkan pedangnya pada kaki Ubaidah dan membuat pergelangan kaki Ubaidah terpotong. Melihat itu Hamzah, singa Allah dan Rasul-Nya bersama Ali segera menyerang Syaibah dan mereka berhasil membunuhnya.(6)

Dalam perang ini, Abdurrahman bin Auf dan Bilal Habasyi berhasil menawan Umayyah bin Khalf dan anaknya. Bilal berkata, ”Waktu itu saya berada diantara Umayyah dan anaknya, kemudian saya menangkap mereka. Umayyah bertanya kepada saya, “Siapa diantara kalian yang menandai dadanya dengan bulu onta?”. Saya menjawab, “Hamzah bin Abdul Muthalib.” Ia berkata, “Hamzah membawa malapetaka atas diri kami.

Pertengahan Syawal tahun kedua Hijriyah. Kabilah Bani Qainuqa’, kelompok yang paling berani diantara kelompok kaum Yahudi yang berprofesi sebagai pandai besi memiliki ikatan perjanjian dengan Abdullah bin Ubay dan juga Rasulullah saw. Ketika terjadi perang Badar, kebencian dan rasa dengki membuat mereka memutuskan untuk membatalkan perjanjian. Allah Swt menurunkan surah Al-Anfal ayat 58 kepada Rasulullah saw, “Dan jika engkau (Muhammad) khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berkhianat.” (7)

Dengan turunnnya ayat ini, Rasulullah menjadi waspada terhadap Bani Qainuqa’. Beliau menyerahkan bendera ke tangan Hamzah dan memerintahkannya dengan beberapa pasukan untuk menghadapi mereka. Bani Qainuqa’ adalah kelompok Yahudi yang pertama kali melakukan pengkhianatan kepada Islam. Ketika Rasulullah saw baru melakukan pengepungan, kontan saja mereka merasa ketakutan, sehingga mereka pun menyerah kepada kaum Muslimin dan menyerahkan harta-harta mereka. Rasulullah saw bersabda, “Bebaskan mereka, Allah Swt telah melaknat mereka dan Abdullah bin Ubay”.(8)

Perang Uhud: Akhir Syawal tahun kedua Hijriyah menjelang terjadinya perang Uhud. Hamzah, sebagai panglima perang—sebelum memulai perang— berkata, “Demi Allah Swt yang telah menurunkan Al-Qur’an, hari ini saya tidak akan menyentuh sedikit pun makanan sampai saya menghadapi lawan dalam peperangan.”(9)

Hamzah bersama Kaum Muslimin

Di malam hari perang Uhud, Rasulullah saw tahu bahwa tidak lama lagi pamannya akan gugur sebagai syahid. Beliau pun berbincang dengan Hamzah dan menanyakan kembali keyakinannya mengenai ketauhidan dan kenabian serta risalah yang dibawanya. Hamzah kemudian menjawab dengan tegas dan kembali mengucapkan syahadat dengan lidahnya. Akhirnya Rasulullah saw bersabda kepadanya, “Hamzah adalah pemimpin para syuhada, singa Allah dan singa Rasul-Nya dan paman Nabi.” Sabda Nabi ini menebar aroma kesyahidan dan membuat dada Hamzah bergemuruh. Hamzah pun meneteskan air mata kebahagiaan. Rasulullah saw berdoa agar pamannya tetap tegar berdiri di jalan tauhid dan segala keraguan di dalam hatinya segera sirna.

Menjelang Perang Uhud, Hamzah berkata kepada Nabi saw, “Saya bersumpah atas nama Allah, tidak akan sedikitpun menyentuh makanan sebelum mengeluarkan semua musuh dari kota Madinah.

Perang Uhud terjadi pada bulan Ramadhan, kaum Muslimin berbaris dengan rapi di kaki gunung Uhud di bagian utara Madinah. Setelah perang satu lawan satu, maka dimulailah perang secara terbuka. Hamzah bertempur dengan gagah berani dan penuh dengan keimanan yang meluap-luap. Dengan dua pedang di tangannya, ia menyerang dengan penuh keberanian sambil berteriak, “Saya adalah singanya Allah.

Thalhah bin Abi Thalhah pembawa bendera kaum Musyrikin berteriak sambil menantang, “Siapakah yang berani berhadapan denganku?” Ali bin Abi Thalib bergegas mendekatinya dan menebaskan pedang ke arah kepalanya. Tebasan itu membuatnya keningnya terbelah dan mengucurkan darah sehingga akhirnya ia pun terjatuh dan terkulai ke tanah. Melihat itu, Rasulullah saw tersenyum seraya mengumandangkan takbir. Kaum Muslimin pun serentak mengumandangkan takbir yang sama. Bendera kaum musyrikin tersebut kemudian beralih ke tangan Utsman bin Abi Thalhah. Hamzah segera berlari ke arahnya, dan mengayungkan pedang ke bahunya. Tebasan pedang Hamzah mematahkan tangan dan bahunya, pedangnya terlepas dan paru-parunya terburai keluar. Hamzah kemudian kembali sembari mengumandangkan syair, “Saya putra pemberi minum jamaah haji.” (10)

Banyak kaum musyrikin yang terbunuh di perang tersebut di tangan Hamzah. Diantaranya adalah pemegang bendera laskar Bani Abduddar, Atha’ bin Abdu dan Utsman bin Abi Thalhah dan juga Saba’ bin Abdul `Uzzah dan Amru bin Fadlah.

Wahsyi Habasyi

Jabir bin Mut’im mempunyai budak yang bernama Wahsyi yang sebagaimana orang-orang Habasyah lainnya terkenal pandai menombak dan jarang gagal mengenai sasaran ketika melemparkan tombaknya. Pada perang Uhud Jabir berkata kepada budaknya, “Pergilah bersama pasukan ini, dan jika kamu melihat pamannya Muhammad maka bunuhlah dia. Aku ingin membalas dendamku atas kematian pamanku Ta’imah bin Addi di perang Badar. Jika kamu berhasil membunuhnya maka kamu kubebaskan.” Hindun, anak Utbah juga meminta Wahsyi untuk membunuh salah satu dari Muhammad, Ali atau Hamzah untuk membayar kematian bapaknya. Wahsyi pun menjawab, “Saya sama sekali tidak bisa menemukan cara untuk membunuh Muhammad ataupun Ali pun. Mereka begitu lincah dan tangkas di medan perang. Namun Hamzah mudah terjebak dalam kemarahan dan emosional saat terjadi peperangan sehingga ia tidak memperhatikan lagi kondisi sekitarnya. Mungkin aku bisa membunuhnya dengan cara licik.

Wahsyi bercerita, “Saya pada perang Uhud selalu mengikuti Hamzah dari belakang. Dia berperang bagaikan singa liar yang menerkam jantung musuh-musuhnya. Saya bersembunyi di balik bebatuan dan pepohonan sehingga dia tidak bisa melihatku. Ketika dalam keadaan sibuk menghadapi musuh-musuhnya, saya pun semakin mendekat ke arah Hamzah. Dengan jarak yang menyakinkan sayapun melemparkan tombakku ke arahnya. Tombak itupun tertancap di tubuhnya. Ia hendak menyerang ke arahku, namun karena rasa sakit yang sangat ia pun berteriak tak berdaya hingga ruhnya terpisah dari badannya. Dengan penuh kehati-hatian saya pun mendekat ke arahnya. Setelah mengambil senjatanya, sayapun bergegas kembali ke pusat pasukan kaum Quraisy sembari menunggu saya dibebaskan.” (11)

Setibanya kembali di Mekkah, Wahsyi pun mendapat imbalan kebebasan setelah ia menjalankan tugasnya dengan baik. Pada hari Fathul Mekkah (penaklukan kota Mekkah) dia melarikan diri ke Thaif. Pada tahun ke Sembilan Hijriyah penduduk Thaif datang berbondong-bondong ke Madinah untuk menyatakan keislamannya. Wahsyi pun berencana kembali melarikan diri ke Syam atau Yaman. Namun ia mendapat kabar, siapapun yang bersyahadat benar dengan lidahnya dan menyatakan keislaman maka Nabi Muhammad saw tidak akan membunuhnya. Ia pun bergegas menghadap kepada Nabi Muhammad saw dan kemudian mengucapkan syahadat sebagai pernyataan keislamannya. Rasulullah saw memintanya untuk menceritakan bagaimana ia bisa membunuh Hamzah. Setelah diceritakan Rasulullah saw pun bersedih dan berkata kepada Wahsyi, “Mulai sekarang jangan perlihatkan lagi wajahmu di hadapanku.” Atas permintaan Rasulullah saw, Wahsyi pun menjauh dan tidak menampakkan diri di hadapan Rasulullah saw sampai kemudian beliau saw wafat. Sepeninggal Rasulullah saw, Wahsyi pun berkesempatan mengikuti perang melawan Musailamah. Dengan dibantu seorang sahabat dari kaum Anshar, Wahsyi berhasil membunuh Musailamah. Dengan penuh haru ia berkata, ”Saya telah membunuh manusia terbaik setelah Rasulullah saw, dan juga telah membunuh manusia paling buruk di dunia.”(12)

Akibat dari masa lalu yang gelap, Wahsyi sampai akhir hayatnya enggan untuk berhubungan dengan kaum Muslimin. Namanya dihapus dari deretan laskar kaum Muslimin karena sikapnya yang tidak baik dan karena banyak meminum minuman keras ia pun sering dijatuhi hukuman cambukan. Umar bin Khattab berkata, “Pembunuh Hamzah tidak akan lagi mendapat pembebasan dan tidak layak masuk dalam daftar orang-orang baik.” (13)

Istri Abu Sufyan dan Kebenciannya terhadap Hamzah

Hindun, anak perempuan Utbah memerintahkan kepada Wahsyi untuk membunuh Hamzah sebagai penebus darah ayahnya. Dan Wahsyi pun menyanggupinya. Hindun banyak membuat gelang kaki dan kalung leher dari telinga dan hidung para syuhada Islam yang gugur pada perang sebelum perang Uhud. Ia memberikan dan mengenakan semuanya itu pada Wahsyi dan meminta agar hati Hamzah diserahkan kepadanya. Mengenai perbuatan yang sangat tidak pantas dan menjijikkan ini, Abu Sufyan berkata, “Saya tidak pernah menyetujui perbuatan ini dan juga tidak pernah memerintahkannya.” Karena perbuatan buruk Hindun ini, ia mendapat julukan “pemakan hati”. Anak-anaknya pun dikenal dengan julukan anak dari si pemakan hati.

Nama Hindun semakin menjijikkan ketika ia yang notebene masih saudara sepupu Hamzah dan putri dari Utbah bin Abdul Muthalib berdiri di atas batu dan dengan penuh rasa dendam ia menguyah-nguyah hati Hamzah dan menelannya. Abu Sufyan pun ikut mendekati jasad Hamzah dan bertindak tidak senonoh tehadap mulut Hamzah. Pada saat itu Hulais bin Zabban yang kebetulan lewat di tempat itu melihat perbuatan yang tidak senonoh Abu Sufyan lalu ia berteriak, “Wahai orang-orang, lihatlah tokoh besar kabilah Quraisy ini dengan tanpa hati ia memperlakukan tidak senonoh kepada anak pamannya sendiri.” Abu Sufyan merasa malu dengan perbuatannya sendiri dan berkata, “Apa yang saya lakukan ini tidak pantas kau lihat, dan ini juga bukan sebuah kesalahan besar.

Kesedihan Rasulullah atas Syahidnya Hamzah

Rasulullah saw pada perang Uhud berkali-kali menanyakan tentang keadaan pamannya. Salah seorang sahabat Rasulullah bernama Harits bin Shamah bermaksud untuk memberikan kabar kepada Rasulullah saw. Namun mengingat kondisi jenazah Hamzah yang begitu memprihatinkan, ia tidak sampai hati menyampaikannya kepada Rasulullah saw. Karena belum juga ada kabar, Rasulullah saw memerintahkan Sayidina Ali untuk mencarinya. Namun sewaktu Ali juga melihat jenazah Hamzah dalam kondisi tidak utuh lagi, ia pun terduduk disamping jenazah tersebut dengan penuh kesedihan. Beliau pun berat menyampaikan berita duka tersebut kepada Rasulullah saw.

Rasulullah akhirnya mencari sendiri jasad Hamzah. Beliaupun menemukan jasad Hamzah penghulu para syuhada yang begitu mengenaskan. Beliau saw bersabda, “Tidak ada musibah yang lebih besar dari kematianmu dan tidak ada kesedihanku yang lebih sulit dari ini.” (14) Setelah itu, beliau berkata, “Jika sekiranya Allah memberiku kekuatan, aku akan membalas kematian Hamzah dan akan kubunuh 70 orang Quraisy dan akan kupong tubuh mereka.” Pada saat itu malaikat Jibril datang dan membacakan sebuah surah yang berbunyi, “Dan jika kamu membalas, maka balaslah dengan (balasan) yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang yang sabar.” (15)

Rasulullah saw setelah mendengar ayat tersebut bersabda, “Saya akan bersabar dan tidak akan membalas dendam.” Rasulullah saw pun mengambil jubahnya dan menutupi wajah Hamzah. Namun jubah itu terlalu pendek bagi Hamzah. Jika jubah itu menutupi kepala maka kaki Hamzah terlihat jelas, namun jika ditarik untuk menutupi kakinya, kepalanya akan terlihat. Karenanya Rasulullah menarik jubah tersebut menutupi kepala Hamzah dan menutupi kaki Hamzah dengan rerumputan dan ilalang. Rasulullah saw bersabda, “Sekiranya perempuan-perempuan Abdul Muthalib tidak bersedih, saya akan meninggalkan dia dalam keadaan seperti ini dan membiarkan binatang-binatang padang pasir memangsa dagingnya hingga sampai hari kiamat ia akan tetap berada dalam perut mereka. Semakin besar musibah yang dihadapinya, maka akan semakin besar pula pahala yang akan didapatnya.”(16)

Rasulullah saw berdiri beberapa saat di sisi jenazah Hamzah dan berkata, “Jibril datang di sisiku dan memberikan kabar bahwa diantara penghuni tujuh lapisan langit tertulis, Hamzah bin Abdul Muthalib asadullah wa asadur rasuluhu (17) (Hamzah bin Abdul Muthalib, singa Allah dan singa Rasul-Nya).

Diriwayatkan dari Rasulullah saw, “Barang siapa yang berziarah kepadaku namun tidak berziarah kepada pamanku Hamzah, sama halnya menyatakan permusuhan kepadaku.” (18)

Rasulullah saw memberikan gelar kepada Hamzah, Sayyidul Syuhada (penghulu para syuhada). Rasulullah saw begitu memuliakan kesyahidan Hamzah. Sewaktu meninggalkan bukit Uhud ingin kembali ke kota Madinah, Rasulullah saw menangis dan juga memerintahkan kepada keluarga kaum Anshar untuk pergi ke rumah Hamzah guna menangis dan meratap di sana. Kepada kaum Muslimin Rasulullah saw bersabda, “Pergilah kalian berziarah ke makam Hamzah”. Rasulullah saw pun selalu berkunjung dan menziarahi para syuhada Uhud, khususnya di makam Hamzah dan beliau selalu menyampaikan salam kepadanya.

Sewaktu kaum musyrikin meninggalkan gunung Uhud, Rasulullah saw mendekati para syuhada. Beliau tidak memandikan jenazah Hamzah dan juga para syuhada lainnya. Beliau saw bersabda, “Kuburkanlah mereka bersama dengan darah-darah mereka tanpa harus dimandikan. Saya yang akan menjadi saksi mereka.” Jenazah Hamzah adalah jenazah yang pertama kali Rasulullah saw mengumandangkan takbir empat kali atasnya. Setelah itu, beliau memerintahkan sahabat-sahabatnya untuk meletakkan jenazah para syuhada lainnya di sebelah Hamzah. Rasulullah saw melakukan sholat untuk setiap syuhada. Dan khusus untuk Hamzah, Rasulullah melakukan shalat sampai tujuh puluh kali. (19)

Atas perintah Rasulullah saw, Hamzah bersama Abdullah bin Jahasy, syuhada Uhud yang juga dimutilasi dimana telinga dan hidungnya terpotong dikuburkan dalam satu makam. (20)

Setelah itu Rasulullah saw bersama sahabat-sahabatnya kembali ke Madinah. Haminah, putri Jahasy dan saudara perempuan Abdullah menemui Rasulullah saw. Ketika Rasulullah menyampaikan kabar mengenai kesyahidan Abdullah, Haminah berkata, “Inna lillahi wa inna ilahi raji’un, saya memohonkan ampun kepada Allah atas kesalahan-kesalahannya.” Setelah itu ia bertanya mengenai kabar Hamzah. Ketika mendengar kabar kesyahidan Hamzah, ia kembali mengucapkan hal yang sama dan memohon kepada Allah agar dosa-dosa keduanya diampuni-Nya.

Perempuan-perempuan Anshar dan Hamzah

Ketika kembali dari Uhud ke Madinah, Rasulullah saw melihat perempuan-perempuan kaum Anshar menangis dan mengucurkan air mata atas kesyahidan keluarga mereka sendiri di tempat yang bernama “Bani Abdul Syahl” dan “Bani Dzapar”. Rasulullah saw pun turut bersedih melihat itu dan bertanya, “Tetapi mengapa perempuan-perempuan itu tidak menangis untuk Hamzah?” (21) Sa’ad bin Ma’adz dan Usaid bin Hadhir mendengar perkataan Rasulullah saw ini lalu kemudian mendekati perempuan-perempuan itu dan berkata, “Pergilah kalian ke masjid dan turutlah berduka atas kesyahidan Hamzah, paman Rasulullah.” Mereka pun pergi melakukan apa yang dianjurkan. Rasulullah saw bersabda, “Semoga Allah merahmati mereka, kembalilah dan janganlah kamu enggan merasakan penderitaan orang lain."(22) Rasulullah saw juga bersabda, "Semoga Allah merahmati kaum Anshar, sekarang saya mengetahui, betapa mereka memiliki kepedulian dan perasaan sepenanggungan, persilakan mereka kembali." (23)

Perempuan kaum Anshar sampai sekarang (kurun ketiga Hijriyah) jika ada diantara keluarga mereka yang meninggal dunia, mereka lebih dulu bersedih dan menangis atas meninggalnya Hamzah baru kemudian menangisi keluarganya sendiri. (24)

Salam atasmu wahai paman Rasulullah dan salam Allah pula atasmu. Salam atasmu wahai yang telah gugur di jalan Allah!. Salam atasmu wahai Singa Allah dan singa Rasul-Nya! Kami bersaksi bahwa engkau telah berjihad di atas agama Allah dan telah mempersembahkan jiwa ragamu dalam membantu perjuangan Rasulullah. Semoga engkau mendapat kemuliaan di sisi Allah Swt.

Ayat 19 surah Al-Hajj turun di saat perang Uhud tengah berkecamuk, sewaktu Imam Ali dan Hamzah berhasil membunuh Syaibah, Allah Swt berfirman, "Inilah dua golongan (golongan mukmin dan kafir) yang bertengkar, mereka bertengkar mengenai Tuhan mereka." Sebagaimana halnya surah Ad-Dukhan ayat 16, Surah Al-Qamar ayat 45, Surah Al-Hajj ayat 55 dan Az-Zariyat ayat 45 turun berkenaan dengan perang Badar.(25)

Hamzah, penghulu para syuhada adalah teladan dalam hal keimanan, pengorbanan dan keberanian. Kecintaannya kepada Rasulullah dan jasanya yang besar terhadap Islam membuat namanya abadi dan akan terus hidup sepanjang sejarah.

Catatan Kaki

  1. Imta` al Asma', hal. 6.

  2. Farozi az Tarikh_e Payombar_e Islam, hal. 114.

  3. Thabaqot Muhammad bin Sa'ad, hal. 5.

  4. Ibid hal. 7.

  5. Ibid hal 16.

  6. Ibid hal. 18.

  7. Ibid hal 32.

  8. Ibid hal 33.

  9. Farozi az Tarikh_e Payombar_e Islam, hal. 262.

  10. Thabaqot Muhammad bin Sa'ad, hal. 49.

  11. Ferozhoi az Tarikh_e Payombar_e Islam, hal. 289.

  12. Tarikh_e Payombar_e Islam, Doktor Ayati, hal. 295.

  13. Farozi az Tarikh_e Payombar_e Islam, hal. 296.

  14. Tarikh_e Payombar_e Islam, Doktor Ayati hal. 323.

  15. QS. an Nahl: 126.

  16. Kulliyat Muntaha al Amal, hal. 7.

  17. Tarikh_e Payombar_e Islam, Doktor Ayati, hal. 323.

  18. Kulliyat Mafatih al Jinan, Ziarah Hadrat Hamzah.

  19. Thabaqot Muhammad bin Sa'ad.

  20. Kulliyat Muntaha al Amal, hal. 77.

  21. Tarikh_e Payombar_e Islam, Doktor Ayati hal. 322.

  22. Ibid hal. 22.

  23. Ibid hal 23.

  24. Thabaqot Muhammad bin Sa'ad, hal. 53.

  25. Kulliyat Muhammad bin Sa'ad, hal. 18.

Rabu, 17 Februari 2010

Julukan

Tafsir Atas Julukan

Penghulu para syahid (sayyid asy-syuhada), “Orang yang ditangisi sebelum terbunuh” (qatil al-abra'a), Imam Husain as mempunyai kuniyah (julukan) yang menarik, Abu Abdillah. Julukan ini artinya, “Ayah Abdullah.” Bangsa Arab mempunyai kebiasaan menyapa satu sama lain dalam berbagai cara. Cara pertama adalah memanggil orang dengan namanya, cara kedua dengan merujuk gelarnya, dan cara ketiga menyapa orang dengan julukannya. Misalnya, nama imam pertama kita adalah Imam Ali as, laqab (gelar)nya “Asadullah,” “Haidar,” sementara julukannya (yang dinisbatkan kepada ayah, ibu atau anak) adalah Abul Hasan, atau Abul Hasanain.
Demikian halnya, julukan Imam Husain as adalah Abu Abdillah, namun gelarnya banyak, misalnya, asy-syahid as-sa’id, as-sibth ats-tsani (cucu kedua), imamuts tsalits (imam ketiga), ar-rasyid (orang yang lurus), al-wali as-sayyid (pemimpin Sayid), “orang yang mengikuti kehendak Allah dan bukti-Nya.” Pastinya, Anda pernah membaca frase ini beberapa kali dalam Ziarah Asyura, “Assalamu ‘alayka ya Aba Abdillah (Salam atasmu wahai Abu Abdillah).” Sejenak, mari kita coba tingkatkan pemahaman dan pengetahuan kita atas julukan Imam Husain as ini melalui artikel di bawah ini.

Asal-Muasal Kuniyah
Julukan tersebut diturunkan dari kata “kunyah” yang artinya “menyebut sesuatu dengan suatu sikap tertentu.” Karena alasan inilah, dalam tatabahasa Arab, kata-kata tersebut digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang disebut kinayah. Penduduk Basrah biasa menyebut pronoun sebagai kinayah. Ketika seseorang tidak ingin menggunakan nama dari orang yang tengah ia ajak bicara, maka ia gunakan suatu julukan ketika berbicara dengannya. Itu artinya, ia menyinggung orang itu melalui ayahnya, ibunya, atau anaknya dan menggunakan kata-kata seperti “Abu,” “Ummi,” atau “Ibnu,” seperti Abu Thalib (ayah Thalib), Ibnu Abbas (putra Abbas), atau Ummu Daud (ibunya Daud). Kata-kata tersebut disebut “kuniyah.” Pada umumnya, ini disebabkan nama-nama ayah atau leluhur terkait dengan nama seseorang. Gelar seperti “Sayid,” “Syekh,” “Khan,” “Mirza” dan lain-lain yang umumnya digunakan di kalangan non-Arab tidak menyebar di kalangan bangsa Arab. Karena itu, suatu kuniyah digunakan secara sangat luas di kalangan mereka. Pada dasarnya, penggunaannya adalah standar akhlak dan adab yang baik.
Seorang penyair berkata:
Ketika aku memanggilnya, aku menyapanya dengan julukannya sehingga aku bisa menghormatinya
Dan ketika aku tidak memanggilnya dengan gelarnya karena itu dipandang tidak hormat
Aku terus menggunakan cara ini sampai ia tidak menjadi watak kedua bagiku
Sesungguhnya aku t’lah menemukan cara ini sebagai adab yang patut.
Dari sini, ketika seorang anak dilahirkan dan dinamai, kuniyah ayahnya juga ikut ditetapkan. Sebenarnya, pada banyak kesempatan, kuniyah seseorang diputuskan jauh-jauh sebelum anak itu lahir. Acapkali, kuniyah seseorang akan menjadi lebih kondang ketimbang nama sebenarnya. Banyak kuniyah dari seseorang yang dipilih berdasarkan karakteristik istimewa yang terdapat padanya. Misalnya, umum diketahui bahwa Nabi saw memiliki kuniyah Abul Qasim. Ini disebabkan bahwa telah dikatakan tentangnya, “Beliau disebut sebagai Abul Qasim karena pada hari Kiamat ia akan membagi-bagikan (qasama) surga.”

Kuniyah Imam Husain Sejak Kecil
Banyak hadis mengisyaratkan bahwa kuniyah Abu Abdillah-nya Imam Husain as disandarkan kepadanya sejak masih kanak-kanak. Asma binti Umais meriwayatkan bahwa ketika Imam Husain as dilahirkan, Nabi saw mengambilnya dari pangkuannya dan berkata kepadanya, “Wahai Abu Abdillah! Engkau begitu berharga bagiku.”
Usai berkata demikian, beliau mulai menangis. Asma meriwayatkan, “Aku berkata: ‘Wahai Nabi, mengapa Anda menangis seperti ini pada hari penuh harapan?’ Nabi saw menjawab, ‘Aku menangis karena putraku ini, yang akan dibunuh oleh sekelompok pemberontak dari Bani Umayah.’” (Biharul Anwar, juz.43, Bab 11; Uyunul Akhbar ar-Ridha; Manaqib Ibnu Syahr Asyub)
Poin yang mesti dicatat di sini adalah bahwa Nabi saw tak pernah melontarkan suatu kata atau melakukan suatu perbuatan tanpa landasan wahyu dan sanksi Tuhan. Sesungguhnya, ada sejumlah rahasia Ilahi yang disembunyikan dalam kuniyah khusus ini dan itu bisa jadi bahwa Imam Husain as telah disifati kuniyah ini (Abu Abdillah) karena alasan yang sama bahwa kakek beliau sang Nabi saw telah disifati dengan kuniyah Abul Qasim. Dengan kata lain, adalah mungkin bahwa Imam Husain as telah dinilai dengan kuniyah ini karena amal ibadahnya yang istimewa.

Makna Abu Abdillah pada Pribadi Imam Husain as
Penting untuk dicatat bahwa sebelum Imam Husain as tak seorang pun di kalangan para nabi atau para pengganti (washi) mereka yang memberikan teladan ibadah secemerlang yang ditunjukkan oleh Sayidusy Syuhada (penghulu para syuhada Imam Husain as) sendiri. Kepasrahan totalnya (di hadapan ketentuan Allah), ibadahnya, kesabarannya di bawah panji tauhid dan kebaktiannya kepada Allah, adalah amal-amal yang tak bisa dibandingkan dengan tokoh suci mana pun. Seluruh nabi terdahulu berikut para washi mereka telah menyebutkan, “Jika aku mencoba melangkah meski satu langkah menuju kedudukan ini, niscaya aku terluka (akan celaka).”
Ibadah dan kebaktian Imam Husain as secara khusus terbukti pada hari Asyura, yakni himpunan amal ibadah baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Setiap amal perbuatan Imam Husain as, baik itu berupa salat, puasa, zakat, atau pun haji, amar makruf-nahi mungkar, masing-masing amal tersebut merupakan suatu teladan dan pelajaran bagi orang yang berakal. Secara khusus, gerakan jihad dan amar makruf-nahi mungkar Imam as. Ini merupakan pelajaran bagi dunia bahwa jika kejahatan dan amoralitas ada di dunia, maka itu tidak hanya disebabkan orang-orang kotor yang melakukan perbuatan-perbuatan tak senonoh tersebut, namun juga disebabkan orang-orang baik yang tetap berpangku tangan di hadapan ketaksenonohan-ketaksenonohan tersebut dan tidak berusaha bangkit membalas (perbuatan) para penindas. Maka itu, Imam Husain as merupakan simbol kebaikan-kebaikan moral, keberanian, kesabaran, kasih-sayang, rasa malu, nasihat, kebangkitan, keyakinan, kanaah, keberanian, kesantunan yang para malaikat notabene suci dan merupakan makhluk Allah yang dimuliakan, tercengang dan kagum akan amal kebaktian Imam as ini. Tidaklah salah ungkapan dalam slogan yang berbunyi, “Tidak ada hari yang serupa dengan harimu (Asyura), wahai Aba Abdillah!” menunjuk pada seluruh kebajikan dan keutamaan ini.
Tipe-tipe kuniyah dan gelar tersebut sangat lumrah di kalangan bangsa Arab era awal. Misalnya, jika keberanian dan kegagahan dari sejumlah orang tertentu didiskusikan, maka akan dikatakan, “Aku melihat seekor singa di antara mereka.”
Atau jika kemurahhatian seseorang disebutkan, maka dikatakan, “Si fulan ayah dari kemurahhatian.”
Alasan kedua atas kuniyah Sayidusy Syuhada sebagai “Abu Abdillah” adalah bahwa seandainya ia tidak berjuang dan berusaha keras di Karbala, maka tentunya Syariat Islam akan terhapus oleh kebrutalan dan kezaliman dari Bani Umayah dan orang-orang (Islam) niscaya akan kembali ke (pangkuan) kebiasaan-kebiasaan politeisme dan kejahilan pra-Islam. Para raja tiranik dan opresif dan kegairahan pada dunia niscaya menguasai semua orang. Tak seorang Muslim pun mengambil keuntungan dari petunjuk Nabi saw dan al-Quran. Niscaya tak seorang pun untuk memerangi penindasan yang dilakukan oleh Bani Umayah atau pun menyerang serangan-serangan (ideologis) orang-orang seperti Ibnu Taimiyah. Karena itu, hari ini siapa pun yang menyembah Allah dan mengikuti Nabi Muhammad saw, maka itu asli karena berkah Imam Husain as. Dia adalah Husain yang sama yang tentangnya dikatakan, “Jika kalian tidak ada, niscaya Allah tak akan disembah. Jika kalian tidak ada, niscaya tak seorang pun akan memperoleh makrifatullah yang hakiki.” (Faraid as-Simthain, jil.1, hal.46)
Karena itu, memang benar bahwa Sayidusy Syuhada as adalah ayah semua hamba Allah (karena kata “Ayah” (Abu) digunakan dalam arti “pelatih” sebagaimana ia sering digunakan di kalangan bangsa Arab). Istilah “Abu Abdillah” merujuk pada hamba-hamba Allah—baik kata ‘Abd itu ditafsirkan dalam arti “kerendahan” atau “ketundukan” atau pun dalam makna “ibadah” dan “salat.” Kedua tafsiran tersebut tidak meniadakan konsep dan gagasan istilah Abu Abdillah.
Alasan ketiga untuk pemakaian kuniyah Abu Abdillah adalah—sebagaimana disebutkan oleh kebanyakan sejarahwan dan ahli hadis—bahwa Imam Husain as mempunyai putra bernama Abdullah yang kita sebut dengan nama Ali Ashgar. Ia baru berumur enam bulan ketika ayahnya sampai bersamanya di Padang Karbala. Pada usianya yang belia itu, Ali Ashgar dijadikan target tembakan anak panah oleh Harmala (laknat atasnya), ketika Ali kecil berada di buaian tangan sang ayah. Karena itu, sering ditemukan dalam buku-buku yang menceritakan peristiwa tragedi Karbala frase-frase seperti “Dan kemudian dia (Imam Husain) keluar bersama putranya, Abdullah bin Husain.” Karena alasan inilah Imam Husain as juga disebut sebagai Abu Abdillah.

Kesimpulan
Sebelum mengakhiri artikel ini, ada hadis dari Imam Ridha as yang berkata, “Apabila engkau berbicara dengan seseorang sementara ia di hadapanmu, maka gunakanlah (nama) julukannya. Sementara, jika engkau berbincang dengan seseorang yang tidak ada di depanmu, maka sebutlah ia dengan nama (asli)nya.” (Biharul Anwar, juz.78, hal.335)
Karena itu, setiapkali kita membaca Ziarah Asyura, maka kita semestinya mencamkan dalam hati kita bahwa ketika kita menyalami Syahid Karbala seperti ‘wahai Abu Abdillah,’ maka sesungguhnya ia hadir di depan kita. Kedua, juga harus dicamkan dalam pikiran bahwa sebuah kuniyah digunakan sebagai tanda penghormatan. Misalnya, di masa pemerintahan khalifah kedua, ketika seseorang melakukan tuduhan terhadap diri Amirul Mukminin Ali dan ketika Imam Ali didatangkan ke hadapan khalifah, khalifah pun memanggil Abul Hasan untuk Imam Ali as. Kontan, Amirul Mukminin Ali keberatan dan berkata, “Keadilan harus ditegakkan di meja peradilan. Adalah bertentangan dengan keadilan ketika Anda menyebut saya dengan kuniyahku, sementara engkau menyapa orang lain dengan namanya.”
Apabila kita lalai dan alpa selama membaca ziarah dan tidak menggunakan kuniyah, maka ini merupakan tanda tidak menghargai dan Allah tidak menerima doa-doa tersebut. Hal ini bisa disimpulkan dari hadis Amirul Mukminin as yang berkata, “Allah tidak menerima salat (doa) dari hati yang lalai.” (Biharul Anwar, juz.93, hal.314)
Demikianlah, kita harus fokus sepanjang waktu dan harus berjuang keras untuk melindungi diri sendiri dan meyakinkan bahwa hati tidak menjadi lalai ketika membaca ziarah kepada para imam as. Kita harus berdoa kepada Allah di sepanjang waktu agar Dia menerima ziarah kita dan juga ibadah-ibadah lainnya, agar Dia mempercepat kemunculan orang yang menjadi simbol dan manifestasi ibadah, yakni Baqiyatullah, Imam Mahdi as. Dan melalui kemunculannya, Dia akan menghilangkan semua derita dan musibah orang-orang beriman di muka bumi.[Diterjemahkan oleh Arif Mulyadi dari “Exegesis of the Agnomen Abu ‘Abdillah (as)” dalam www.almuntazar.com]

Selasa, 16 Februari 2010

Kutukan Imam Ali

Kitab Ibnu Qutaibah dan Kutukan Imam Ali kepada Anas bin Malik

Oleh: Ahlul Bayt DILP

Diakhir Kitâb Al-Ma’ârif karya Ibnu Qutaibah, ada bagian tentang “Al-Barash” di mana ia mendaftar orang-orang terkenal yang terkena penyakit leprosy [lepra atai kusta] atau leukoderma selama masa hidupnya. Daftar pertama adalah Anas bin Malik, sahabat Nabi saw., dan penulis mencatat sebuah peristiwa yang menunjukkan bahwa penyebab penyakit ini adalah kutukan Imam Ali as.

Menurut terbitan edisi Mesir, ada sebuah kalimat di akhir kisah itu di mana Ibnu Qutaibah menyatakan keraguan tentang keasilan kejadian ini. Tapi keraguan ini tidak dapat ditemukan dalam manuskrip tua berusia 700 tahun kitab itu di Perpustakaan Inggris!

Sumber Pernyataan

Al-Ghadir fi al-Kitab wa al-Sunnah wa al-Adab, Allamah al-’Amini, edisi Beirut, jilid 1, hlm. 235

Analisis dan Bukti

Ibnu Qutaibah Ad-Dinawari hidup antara tahun 213 dan 276 Hijriah. Ia merupakan ulama Suni awal yang terkenal dengan banyak karya penting dalam ilmu Quran dan hadis. Karyanya, Kitâb Al-Ma’ârif mendaftar kisah dan informasi biografi tentang berbagai muslim dari abad sebelumnya.

Peristiwa dapat dilihat di bawah ini, sebagaimana diterbitkan oleh edisi Mesir:

Kitâb Al-Ma’ârif, Ibnu Qutaibah Ad-Dinawari (w. 276 H), hlm. 251
Kairo: Matba’at Al-Islâmiah, 1353 H/1935 M.

Al-Barash (Lepra atau Leukoderma)

Anas bin Malik memiliki (penyakit) al-barash di wajahnya. Orang-orang menyebutkan bahwa Ali radhiallâh ‘anhu bertanya padanya tentang ucapan Rasulullah saw., “Ya Allah, pimpinlah orang yang menjadikannya pemimpin dan musuhilah orang yang memusuhinya.” Dia (Anas) berkata, “Saya sudah tua dan telah lupa.” Maka Ali berkata, “Kalau Anda berbohong, maka Allah menyerangmu dengan (warna) keputihan yang bahkan tidak bisa ditutupi dengan serban.”

Abu Muhammad berkata: Tidak ada dasar untuk ini.

Perlu dicatat bahwa Abu Muhammad adalah patronim atau kuniah Ibnu Qutaibah sendiri. Oleh karena itu akan terlihat bahwa Ibnu Qutaibah memasukkan sebuah kisah tapi kemudian ia berkomentar bahwa ia tidak benar-benar berpikir tentang kebenaran di dalamnya.

Lalu apa masalah dengan pernyataan ini?

Pertama, Allamah Al-Amini dalam Al-Ghadir jilid 1 halaman 236, menunjukkan bahwa dari awal sampai akhir Kitâb Al-Ma’ârif, tidak ada tempat lain di mana Ibnu Qutaibah menyebutkan sesuatu kemudian menyebutkan keraguan! Gaya kitab itu dengan jelas menunjukkan bahwa penulis hanya mencantumkan apa yang ia percaya adalah benar.

Kedua, ulama terkenal Suni Muktazilah, Ibnu Abil Hadid (w. 656 H), menulis:

Syarh Nahj Al-Balâghah, Ibnu Abil Hadid Al-Mu’tazili (w. 656 H), jil. 3, hlm. 338

… Ibnu Qutaibah telah menyebutkan riwayat tentang lepra/leukoderma (hadis al-barash) dan kutukan Amirul Mukminin Ali kepada Anas bin Malik, dalam Kitâb Al-Ma’ârif bab “Al-Barash min A’yan Ar-Rijâl”, dan Ibnu Qutaibah tidak bisa dituduh karena memihak pada Ali as., karena ia terkenal menjauh darinya.

Hal ini terlihat bahwa salinan Kitâb Al-Ma’ârif yang Ibnu Abil Hadid lihat tidak berisi kalimat terakhir yang muncul pada edisi Mesir di atas.

Akhirnya, terdapat sebuah versi kuno Kitâb Al-Ma’ârif dalam bentuk naskah berusia 700 tahun yang membenarkan kecurigaan kami.

Kitâb Al-Ma’ârif, Ibnu Qutaibah Ad-Dinawari (w. 276 H), folio 118r
Manuskrip: Referensi katalog Perpustakaan Inggris, 1491
Tertanggal hari akhir Syakban, 710 H (1310 M)

Anas bin Malik memiliki (penyakit) al-barash di wajahnya. Orang-orang menyebutkan bahwa Ali shalawâtullâh ‘alaih bertanya padanya tentang ucapan Rasulullah saw., “Ya Allah, pimpinlah orang yang menjadikannya pemimpin dan musuhilah orang yang memusuhinya.” Dia (Anas) berkata, “Saya sudah tua dan telah lupa.” Maka Ali berkata, “Kalau Anda berbohong, maka Allah menyerangmu dengan (warna) keputihan yang bahkan tidak bisa ditutupi dengan serban.”

Bandingkan keluaran teks ini baik-baik dengan keluaran teks Mesir di awal. Meskipun halaman dari manuskrip ini memiliki peristiwa lengkap kutukan Imam Ali as terhadap Anas bin Malik dan penyakitnya, tidak ada tanda-tanda tuduhan komentar: “Abu Muhammad: Tidak ada dasar untuk ini.”!

Juga perhatikan penghormatan shalawâtullâh ‘alaih yang digunakan untuk Imam Ali yang tidak ditemukan dalam edisi Mesir!

Tapi tanpa rantai riwayat lengkap (isnad) bagaimana kita bisa percaya?

Kitâb Al-Ma’ârif bukanlah kitab yang mengutip rantai riwayat lengkap untuk isinya. Fakta bahwa Ibnu Qutaibah, seseorang yang terkenal karena kekecewaannya terhadap Imam Ali as., tetap mengutip kisah tersebut menyiratkan bahwa ia merasa pasti akan kebenarannya.

Apakah ada sumber lain tentang peristiwa ini?

Ada beberapa tempat di mana kita bisa menemukan peristiwa kutukan Imam Ali dengan rantai riwayat lengkap dan terpercaya. Hal ini telah diteliti dengan lengkap oleh Allamah Al-Amini dan bisa dilihat di Al-Ghadir, edisi Beirut, jil. 1, hlm. 207-238

Kapan Nabi saw. mengatakan untuk Ali, “Ya Allah, jadilah wali bagi yang mewalikannya…”?

Kalimat ini adalah bagian dari peristiwa Ghadir Khum ketika Imam Ali as. dengan jelas ditunjuk sebagai pelanjut Nabi dihadapan umat muslim. (Lihat sumber terpercaya lain untuk sejarah tersebut).

Kesimpulannya, terlihat bahwa seseorang di manapun ia berada berusaha untuk mencampuri kebenaran dengan memasukkan pernyataan bohongan dan dihubungkan kepada kitab Ibnu Qutaibah.

Penerjemah: ejajufri © 2010

Kamis, 21 Januari 2010

Ali bin Abi Thalib di Mata Ibnu Taimiyah

Oleh: Muchtar Luthfi

Tetapi anehnya, para pengikut Ibnu Taimiyah yang juga ikut-ikutan mengatasnamakan dirinya “penghidup ajaran Salaf” (Salafy/Wahaby), masih terus bersikeras untuk diakui sebagai pengikut Ahlussunah, padahal di sisi lain, mereka masih terus menjunjung tinggi ajaran dan doktrin Ibnu Taimiyah yang jelas-jelas telah keluar dari kesepakatan (konsensus) ulama Ahlussunah beserta "ajaran resmi" Ahlussunah wal Jamaah. Mereka berpikir, jalan pintas yang paling aman dan mudah untuk mendapat pengakuan itu adalah dengan memusuhi Syiah. Mengangkat isu-isu ikhtilaf Sunnah-Syiah adalah sarana paling efektif untuk menempatkan kaum Salafy supaya diterima dalam lingkaran Ahlussunnah.
--------------------------------------------------------------
ALI BIN ABI THALIB adalah satu sosok sahabat terkemuka Rasulullah saw. Terlampau banyak keutamaan yang disematkan pada diri Ali, baik melalui wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah, maupun melalui hadis yang secara langsung disampaikan oleh Rasul. Keutamaan Ali dapat dilihat dari banyak sudut pandang. Dilihat dari proses kelahiran[2] hingga kesyahidannya.[3] Dari kedekatannya dengan Rasulullah, hingga kecerdasannya dalam menyerap semua ilmu yang diajarkan oleh Rasul kepadanya. Dari situlah akhirnya ia mendapat banyak kepercayaan dari Rasul dalam melaksanakan tugas-tugas ritual maupun sosial keagamaan.

Dengan menilik berbagai keutamaan Ali[4], maka sudah menjadi kesepakatan kaum muslimin –baik Ahlussunnah, maupun Syiah- bahwa Ali bin Abi Thalib adalah salah satu khalifah pasca Rasulullah.[5] Walaupun terdapat perbedaan pendapat antara Ahlussunah dan Syiah tentang urutan kekhilafahan pasca Rasul, tetapi yang jelas mereka sepakat bahwa Ali termasuk salah satu jajaran khalifah Rasul.

Pada tulisan ringkas ini akan dibahas perihal pendapat Ibnu Taimiyah tentang keutamaan Ali, yang berlanjut pada pendapatnya tentang kekhalifahan beliau.

Kelemahan Ali di Mata Ibnu Timiyah:

Di sini akan disebutkan beberapa pendapat Ibnu Taimiyah dalam melihat kekurangan pada pribadi Ali:

Disebutkan dalam kitab Minhaj as-Sunnah karya Ibnu Taimiyah, bahwa Ibnu Taimiyah meremehkan kemampuan Ali bin Abi Thalib dalam permasalahan fikih (hukum agama). Ia mengatakan: “Ali memiliki banyak fatwa yang bertentangan dengan teks-teks agama (nash)”. Bahkan Ibnu Taimiyah dalam rangka menguatkan pendapatnya tersebut, ia tidak segan-segan untuk mengatasnamakan beberapa ulama Ahlusunnah yang disangkanya dapat sesuai dengan pernyataannya itu. Lantas dia mengatakan: “As-Syafi’i dan Muhammad bin Nasr al-Maruzi telah mengumpulkan dalam satu kitab besar berkaitan dengan hukum yang dipegang oleh kaum muslimin yang tidak diambil dari ungkapan Ali. Hal itu dikarenakan ungkapan sahabat-sahabat selainnya (Ali), lebih sesuai dengan al-Kitab (al-Quran) dan as-Sunnah”[6].

Berkenaan dengan ungkapan Ibnu Taimiyah yang menyatakan bahwa banyak ungkapan Ali yang bertentangan dengan nash (teks agama), hal itu sangatlah mengherankan, betapa tidak? Apakah mungkin orang yang disebut-sebut sebagai ‘syeikh Islam’ seperti Ibnu Taimiyah tidak mengetahui banyaknya hadis dan ungkapan para salaf saleh yang disebutkan dalam kitab-kitab standar Ahlusunnah sendiri perihal keutamaan Ali dari berbagai sisinya, termasuk sisi keilmuannya. Jika benar bahwa ia tidak tahu, maka layakkah gelar syeikh Islam tadi baginya? Padahal hadis-hadis tentang keutamaan Ali sebegitu banyak jumlahnya. Jika ia tahu, tetapi tetap bersikeras untuk menentangnya-padahal keutamaan Ali banyak tercantum dalam kitab-kitab standar Ahlusunnah yang memiliki sanad hadis yang begitu kuat sehingga tidak lagi dapat diingkarinya- maka terserah Anda untuk menyikapinya! Lantas, apa kira-kira maksud dibalik pengingkaran tersebut? Karena kebodohan Ibnu Taimiyah? Ataukah karena kebencian Ibnu Taimiyah atas Ali? Ataukah karena kedua-duanya? Bukankah Ali termasuk salah satu Ahlul Bait Nabi,[7] dimana sudah menjadi kesepakatan antara Sunnah-Syiah bahwa pembenci Ahlul-Bait Nabi dapat dikategorikan Nashibi atau Nawashib? Lantas manakah bukti bahwa Ibnu Taimiyah adalah pribadi yang getol menghidupkan kembali ajaran salaf saleh, sedang ungkapannya banyak bertentangan dengan ungkapan salaf saleh?

Sebagai contoh dapat disebutkan beberapa hadis yang membahas tentang keilmuan Ali sesuai dengan pengakuan para salaf saleh yang diakui sebagai panutan oleh Ibnu Taimiyah:

Sabda Rasulullah saw: “Telah kunikahkan engkau –wahai Fathimah- dengan sebaik-baik umatku yang paling tinggi dari sisi keilmuan dan paling utama dari sisi kebijakan…”.[8]

1. Sabda Rasulullah saw: “Ali adalah gerbang ilmuku dan penjelas bagi umatku atas segala hal yang karenanya aku diutus setelahku”.[9]


2. Sabda Rasulullah saw: “Hikmah (pengetahuan) terbagi menjadi sepuluh bagian, maka dianugerahkan kepada Ali sembilan bagian, sedang segenap manusia satu bagian (saja)”.[10]

3. Berkata ummulmukminin Aisyah: “Ali adalah pribadi yang paling mengetahui dari semua orang tentang as-Sunnah”.[11]

4. Berkata Umar bin Khattab: “Ya Allah, jangan Engkau biarkan aku dalam kesulitan tanpa putera Abi Thalib (di sisiku)”.[12]

5. Berkata Ibnu Abbas: “Demi Allah, telah dianugerahkan kepada Ali sembilan dari sepuluh bagian ilmu. Dan demi Allah, ia (Ali) telah ikut andil dari satu bagian yang kalian miliki”.[13] Dalam nukilan kitab lain ia berkata: “Tidaklah ilmuku dan ilmu para sahabat Muhammad saw sebanding dengan ilmu Ali, sebagaimana setetes air dibanding tujuh samudera”.[14]

6. Berkata Ibnu Mas’ud: “Sesungguhnya al-Quran turun dalam tujuh huruf. Tiada satupun dari huruf-huruf tadi kecuali didalamnya terdapat zahir dan batin. Dan sesungguhnya Ali bin Abi Thalib memiliki ilmu tentang zahir dan batin tersebut”.[15]

7. Berkata ‘Adi bin Hatim: “Demi Allah, jika dilihat dari sisi pengetahuan terhadap al-Quran dan as-Sunnah, maka dia –yaitu Ali- adalah pribadi yang paling mengetahui tentang dua hal tadi. Jika dari sisi keislamannya, maka ia adalah saudara Rasul dan memiliki senioritas dalam keislaman. Jika dari sisi kezuhudan dan ibadah, maka ia adalah pribadi yang paling nampak zuhud dan paling baik ibadahnya”.[16]

8. Berkata al-Hasan: “Telah meninggalkan kalian, pribadi yang kemarin tiada satupun dari pribadi terdahulu dan akan datang yang bisa mengalahi keilmuannya”.[17]
Dan masih banyak lagi hadis-hadis pengakuan Nabi beserta para sahabatnya yang menyatakan akan keluasan ilmu Ali dalam kitab-kitab standar Ahlusunnah.

Adapun tentang ungkapan Ibnu Taimiyah yang menukil pendapat orang lain perihal Ali tersebut merupakan kebohongan atas pribadi yang dinukil tadi. Karena maksud al-Maruzi yang menulis karya besar tadi, ialah dalam rangka mengumpulkan fatwa-fatwa Abu Hanifah –pendiri mazhab Hanafi- yang bertentangan dengan pendapat sahabat Ali dan Ibnu Mas’ud. Jadi topik utama pembahasan kitab tersebut adalah fatwa Abu Hanifah dan ungkapan sahabat, yang dalam hal ini berkaitan dengan Ali dan Ibnu Mas’ud. Tampak, betapa terburu-burunya Ibnu Taimiyah dalam membidik Ali dengan menukil pendapat orang lain, tanpa membaca lebih lanjut dan teliti tujuan penulisan buku tersebut. Ini merupakan salah satu contoh pengkhianatan Ibnu Taimiyah atas beberapa pemuka Ahlussunah.

Dalam kitab yang sama, Ibnu Taimiyah ternyata bukan hanya meragukan akan kemampuan Ali dari sisi keilmuan, bahkan ia juga mengingkari banyak hal yang berkaitan dengan keutamaan Ali.[18] Di sini akan disebutkan beberapa contoh ungkapan Ibnu Taimiyah perihal masalah tersebut:

1. Kebencian terhadap Ali: “Ungkapan yang menyatakan bahwa membenci Ali merupakan kekufuran, adalah sesuatu yang tidak diketahui (asalnya)”.[19]

2. Pengingkaran hadis Rasul: “Hadis ana madinatul ilmi (Aku adalah kota ilmu…) adalah tergolong hadis yang dibikin (maudhu’)”.[20]

3. Kemampuan Ali dalam memutuskan hukum: “Hadis “aqdhakum Ali” (paling baik dalam pemberian hukum diantara kalian adalah Ali) belum dapat ditetapkan (kebenarannya)”.[21]

4. Keilmuan Ali: “Pernyataan bahwa Ibnu Abbas adalah murid Ali, merupakan ungkapan batil”.[22] Sehingga dari pengingkaran itu ia kembali mengatakan: “Yang lebih terkenal adalah bahwa Ali telah belajar dari Abu Bakar”.[23]

5. Keadilan Ali: “Sebagian umatnya mengingkari keadilannya. Para kelompok Khawarij pun akhirnya mengkafirkannya. Sedang selain Khawarij, baik dari keluarganya maupun selain keluarganya mengatakan: ia tidak melakukan keadilan. Para pengikut Usman mengatakan: ia tergolong orang yang menzalimi Usman…secara global, tidak tampak keadilan pada diri Ali, padahal ia memiliki banyak tanggungjawab dalam penyebarannya, sebagaimana yang pernah terlihat pada (masa) Umar, dan tidak sedikitpun mendekati (apa yang telah dicapai oleh Umar)”.[24]

Dari pengingkaran-pengingkaran tersebut akhirnya Ibnu Taimiyah menyatakan: “Adapun Ali, banyak pihak dari pendahulu tidak mengikuti dan membaiatnya. Dan banyak dari sahabat dan tabi’in yang memeranginya”.[25]

Bisa dilihat, betapa Ibnu Taimiyah telah memiliki kesinisan tersendiri atas pribadi Ali sehingga membuat mata hatinya buta dan tidak lagi melihat hakikat kebenaran, walaupun hal itu bersumber dari syeikh yang menjadi panutannya, Ahmad bin Hambal. Padahal, imam Ahmad bin Hambal -sebagai pendiri mazhab Ahlul-Hadis yang diakui sebagai panutan Ibnu Taimiyah dari berbagai ajaran dan metode mazhabnya- juga beberapa imam ahli hadis lain –seperti Ismail al-Qodhi, an-Nasa’i, Abu Ali an-Naisaburi- telah mengatakan: “Tiada datang dengan menggunakan sanad yang terbaik berkaitan dengan pribadi satu sahabat pun, kecuali yang terbanyak berkaitan dengan pribadi Ali. Ali tetap bersama kebenaran, dan kebenaran bersamanya sebagaimana ia berada”.[26]

Dalam masalah kekhilafahan Ali, Ibnu Taimiyah pun dalam beberapa hal meragukan, dan bahkan melecehkannya. Di sini dapat disebutkan contoh dari ungkapan Ibnu Taimiyah tentang kekhalifahan Ali:

1. “Kekhilafahan Ali tidak menjadi rahmat bagi segenap kaum mukmin, tidak seperti (yang terjadi pada) kekhilafahan Abu Bakar dan Umar”.[27]

2. “Ali berperang (bertujuan) untuk ditaati dan untuk menguasai atas umat, juga (karena) harta. Lantas, bagaimana mungkin ia (Ali) menjadikan dasar peperangan tersebut untuk agama? Sedangkan jika ia menghendaki kemuliaan di dunia dan kerusakan (fasad), niscaya tiada akan menjadi pribadi yang mendapat kemuliaan di akherat”.[28]

3. “Adapun peperangan Jamal dan Shiffin telah dinyatakan bahwa, tiada nash dari Rasul.[29] Semua itu hanya didasari oleh pendapat pribadi. Sedangkan mayoritas sahabat tidak menyepakati peperangan itu. Peperangan itu, tidak lebih merupakan peperangan fitnah atas takwil. Peperangan itu tidak masuk kategori jihad yang diwajibkan, ataupun yang disunahkah. Peperangan yang menyebabkan terbunuhnya banyak pribadi muslim, para penegak shalat, pembayar zakar dan pelaksana puasa”.[30]

Untuk menjawab pernyataan Ibnu Taimiyah tadi, cukuplah dinukil pernyataan beberapa ulama Ahlusunnah saja, guna mempersingkat pembahasan.

Al-Manawi dalam kitab Faidh al-Qadir dalam menukil ungkapan al-Jurjani dan al-Qurthubi menyatakan: “Dalam kitab al-Imamah, al-Jurjani mengatakan: “Telah sepakat (ijma’) ulama ahli fikih (faqih) Hijaz dan Iraq, baik dari kelompok ahli hadis maupun ahli ra’yi semisal imam Malik, Syafi’i, Abu Hanifah dan Auza’i dan mayoritas para teolog (mutakallim) dan kaum muslimin, bahwa Ali dapat dibenarkan dalam peperangannya melawan pasukan (musuhnya dalam) perang jamal. Dan musuhnya (Ali) dapat dikelompokkan sebagai para penentang yang zalim”. Kemudian dalam menukil ungkapan al-Qurthubi, dia mengatakan: “Telah menjadi kejelasan bagi ulama Islam berdasar argumen-argumen agama, bahwa Ali adalah imam. Oleh karenanya, setiap pribadi yang keluar dari (kepemimpinan)-nya, niscaya dihukumi sebagai penentang yang berarti memeranginya adalah suatu kewajiban hingga mereka kembali kepada kebenaran, atau tertolong dengan melakukan perdamaian”.[31]

Jelas bahwa pernyataan Ibnu Taimiyah dengan mengatasnamakan salaf saleh tidaklah memiliki dasar sedikitpun, apalagi jika ia mengatasnamakan para imam mazhab Ahlusunnah. Lantas, bagaimana mungkin pribadi seperti Ibnu Taimiyah dapat mewakili pemikiran Ahlusunnah, padahal begitu banyak pandangan ulama Ahlusunnah sediri yang secara jelas bertentangan dengan pendapat Ibnu Taimiyah? Lebih-lebih pendapat Ibnu Taimiyah tadi hanya sebatas pengakuan saja, tanpa memberikan argumen maupun rujukan yang jelas, baik yang berkaitan dengan hadis (Rasul saw), maupun ungkapan para salaf saleh (dari sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in) termasuk nukilan pendapat para imam mazhab empat secara cermat, apalagi bukti ayat al-Quran.

Yang lebih parah lagi, setelah ia meragukan semua keutamaan Ali bin Abi Thalib, dari seluruh ungkapannya tersebut, akhirnya ia pun meragukan Ali sebagai khalifah. Hal itu merupakan konsekuensi dari semua pernyataan yang pernah ia lontarkan sebelumnya. Mengingat, dalam banyak kesempatan Ibnu Taimiyah selalu meragukan kemampuan Ali dalam memimpin umat. Oleh karenanya, dalam banyak kesempatan pula ia menyebarkan keragu-keraguan atas kekhilafan Ali. Tentu saja, metode yang dipakainya dalam masalah inipun sama sebagaimana yang ia terapkan sebelumnya -seperti yang telah disinggung di atas, yaitu; dengan cara menukil beberapa pendapat yang sangat tidak mendasar, dan tidak jujur sembari mengajukan pendapat pribadinya sebagai pendapat tokoh-tokoh salaf saleh.

Berikut ini adalah beberapa contoh dari ungkapan Ibnu Taimiyah dalam masalah tersebut:

1. “Diriwayatkan dari Syafi’i dan pribadi-pribadi selainnya, bahwa khalifah ada tiga; Abu Bakar, Umar dan Usman”.[32]

2. “Manusia telah bingung dalam masalah kekhilafan Ali (karena itu mereka berpecah atas) beberapa pendapat; Sebagian berpendapat bahwa ia (Ali) bukanlah imam, akan tetapi Muawiyah-lah yang menjadi imam. Sebagian lagi menyatakan, bahwa pada zaman itu tidak terdapat imam secara umum, bahkan zaman itu masuk kategori masa (zaman) fitnah”.[33]

3. “Dari mereka terdapat orang-orang yang diam (tidak mengakui) atas (kekhalifahan) Ali, dan tidak mengakuinya sebagai khalifah keempat. Hal itu dikarenakan umat tidak memberikan kesepakatan atasnya. Sedang di Andalus, banyak dari golongan Bani Umayyah yang mengatakan: Tidak ada khalifah. Sesungguhnya khalifah adalah yang mendapat kesepakatan (konsensus) umat manusia. Sedang mereka tidak memberi kesepakatan atas Ali. Sebagian lagi dari mereka menyatakan Muawiyah sebagai khalifah keempat dalam khutbah-khutbah jum’atnya. Jadi, selain mereka menyebutkan ketiga khalifah itu, mereka juga menyebut Muawiyah sebagai (khalifah) keempat, dan tidak menyebut Ali”.[34]

4. “Kita mengetahui bahwa sewaktu Ali memimpin, banyak dari umat manusia yang lebih memilih kepemimpinan Muawiyah, atau kepemimpinan selain keduanya (Ali dan Muawiyah)…maka mayoritas (umat) tidak sepakat dalam ketaatan”.[35]
Jelas sekali di sini bahwa Ibnu Taimiyah selain ia berusaha menyebarkan karaguan atas kekhalifah Ali bin Abi Thalib kepada segenap umat, ia pun menjadi corong dalam menyebarkan kekhalifahan Muawiyah bin Abu Sufyan. Sedang hal itu jelas-jelas bertentangan dengan akidah Ahlusunnah wal Jama’ah.

Untuk menjawab pernyataan-pernyataan Ibnu Taimiyah di atas tadi, mari kita simak beberapa pernyataan pembesar ulama Ahlusunnah tentang kekhilafahan Ali bin Abi Thalib, dan ungkapan mereka perihal Muawiyah bin Abu Sufyan, termasuk yang bersumber dari kitab-kitab karya imam Ahmad bin Hambal yang diakui sebagai panutan Ibnu Taimiyah dalam pola pikir dan metode (manhaj)-nya.

1. Dinukil dari imam Ahmad bin Hambal: “Barangsiapa yang tidak mengakui Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat, maka jangan kalian ajak bicara, dan jangan adakan tali pernikahan dengannya”.[36]

2. Dikatakan bahwa imam Ahmad bin Hambal pernah mengatakan: “Barangsiapa yang tidak menetapkan imamah (kepemimpinan) Ali, maka ia lebih sesat dari Keledai. Adakah Ali dalam menegakkan hukum, mengumpulkan sedekah dan membagikannya tanpa didasari hak? Aku berlindung kepada Allah dari ungkapan semacam ini…akan tetapi ia (Ali) adalah khalifah yang diridhai oleh para sahabat Rasul. Mereka melaksanakan shalat dibelakangnya. Mereka berperang bersamanya. Mereka berjihad dan berhaji bersamanya. Mereka menyebutnya sebagai amirulmukminin. Mereka ridha dan tiada mengingkarinya. Maka kami pun mengikuti mereka”.[37]

3. Dalam kesempatan lain, sewaktu putera imam Ahmad bin Hambal menanyakan kepada ayahnya perihal beberapa orang yang mengingkari kekhalifahan Ali, beliau (imam Ahmad) berkata: “Itu merupakan ungkapan buruk yang hina”[38].

4. Dari Abi Qais al-Audi yang berkata: “Aku melihat umat manusia di mana mereka terdapat tiga tahapan; Para pemilik agama, mereka mencintai Ali. Sedang para pemilik dunia, mereka mencintai Muawiyah, dan Khawarij”.[39]

Adapun riwayat-riwayat yang berkaitan dengan keutamaan Ali terlampau banyak untuk disampaikan di sini. Untuk mempersingkat pembahasan, kita nukil beberapa contoh riwayat yang khusus berkaitan dengan keilmuan dan kekhilafan Ali dari kitab-kitab standar Ahlusunnah wal Jamaah:

1. Dalam kitab Mustadrak as-Shahihain karya al-Hakim an-Naisaburi dijelaskan dari Hayyan al-Asadi; aku mendengar Ali berkata: Rasul bersabda kepadaku: “Sesungguhnya umat akan meninggalkanmu setelahku (sepeninggalku), sedang engkau hidup di atas ajaranku. Engkau akan terbunuh karena (membela) sunahku. Barangsiapa yang mencintaimu, maka ia telah mencintaiku. Dan barangsiapa yang memusuhimu, maka ia telah memusuhiku. Dan ini akan terwarnai hingga ini (yaitu janggut dari kepalanya)”.[40]

2. Dalam Shahih at-Turmudzi yang diriwayatkan oleh Abi Sa’id, ia berkata: “Kami (kaum Anshar) tiada mengetahui orang-orang munafik kecuali melalui kebencian mereka terhadap Ali bin Abi Thalib”.[41]

3. Dalam kitab Mustadrak as-Shahihain yang diriwayatkan dari Zaid bin Arqam yang menyebutkan; Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang menginginkan hidup sebagaimana kehidupanku, dan mati sebagaimana kematianku, dan menempati sorga yang kekal yang telah dijanjikan oleh Tuhanku kepadaku, maka hendaknya ia menjadikan Ali sebagai wali (pemimpin/kecintaan). Karena ia tiada akan pernah mengeluarkan kalian dari petunjuk, dan tiada akan menjerumuskan kalian kepada kesesatan”.[42]

4. Dalam kitab Tarikh al-Baghdadi diriwaytkan dari Ibnu Abbas, ia berkata; Rasul bersabda: “Di malam sewaktu aku mi’raj ke langit, aku melihat di pintu sorga tertulis: Tiada tuhan melainkan Allah, Muhammad Rasul Allah, Ali kecintaan Allah, al-Hasan dan al-Husein pilihan Allah, Fathimah pujian Allah, atas pembenci mereka laknat Allah”.[43]

5. Juga dalam kitab Tarikh al-Baghdadi disebutkan sebuah hadis tentang penjelmaan Iblis untuk menggoda Rasul beserta para sahabat sewaktu bertawaf di Ka’bah. Setelah Iblis itu sirna, Rasul bersabda kepada Ali: “Apa yang aku dan engkau miliki wahai putera Abu Thalib. Demi Allah, tiada seseorang yang membencimu kecuali ia (Iblis) telah campur tangan dalam pembentukannya (melalui sperma ayahnya .red).” Lantas Rasul membacakan ayat (64 dari surat al-Isra’): “Wa Syarikhum fil Amwal wal Awlad” (Dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak)”.[44]

6. Dalam kitab Mustadrak as-Shahihain disebutkan, diriwayatkan dari Mujahid dari Ibnu Abbas, ia berkata; Rasul bersabda: “Aku adalah kota hikmah, sedang Ali adalah pintunya. Barangsiapa yang menghendaki hikmah hendaknya melalui pintunya”.[45] Dalam riwayat lain disebutkan: “Aku adalah kota ilmu, sedang Ali adalah pintunya. Barangsiapa yang menghendaki ilmu hendaknya melalui pintunya”.[46]

7. Dalam kitab Mustadrak as-Shahihain disebutkan, diriwayatkan dari al-Hasan dari Anas bin Malik, ia berkata; Nabi bersabda kepada Ali: “Engkau (Ali) penjelas (atas permasalahan) yang menjadi perselisihan di antara umatku setelahku”.[47]

8. Dalam kitab as-Showa’iq al-Muhriqah karya Ibnu Hajar disebutkan, sewaktu Rasul sakit lantas beliau mewasiatkan kepada para sahabatnya, seraya bersabda: “Aku meninggalkan kepada kalian Kitab Allah (al-Quran) dan Itrah (keturunan)-ku dari Ahlul Baitku”. Kemudian beliau mengangkat tangan Ali seraya bersabda: “Inilah Ali bersama al-Quran, dan al-Quran bersama Ali. Keduanya tiada akan berpisah sehingga pertemuanku di al-Haudh (akherat) kelak, maka carilah kedua hal tersebut sebagaimana aku telah meninggalkannya”.[48] Dalam hadis lain disebutkan: “Ali bersama kebenaran dan kebenaran bersama Ali. Keduanya tiada akan pernah berpisah hingga pertemuanku di Haudh kelak di akherat”.[49]

9. Dalam kitab Usud al-Ghabah karya Ibnu Atsir disebutkan, diriwayatkan dari Abi Sa’id al-Khudri, ia berkata; Rasul memerintahkan kami untuk memerangi kelompok Nakitsin (Jamal), Qosithin (Shiffin) dan Mariqin (Nahrawan). Lantas kami berkata: “Wahai Rasulullah, engkau memerintahkan kami memerangi mereka, lantas bersama siapakah kami?”, beliau bersabda: “Bersama Ali bin Abi Thalib, bersamanya akan terbunuh (pula) Ammar bin Yasir”.[50]

Pernyataan Resmi Ahlusunnah Perihal Kekhalifahan Ali:

Lihat, bagaimana Ibnu Taimiyah tidak menyinggung nama Ali dalam masalah kekhalifahan? Dan bagaimana ia berdusta atas nama imam Syafi’i tanpa memberikan dasar argumen yang jelas? Ibnu Taimiyah bukan hanya mengingkari Ali, tetapi bahkan memberikan kemungkinan kekhalifahan buat Muawiyah. Padahal tidak ada kelompok Ahlusunnah pun yang meragukan kekhalifahan Ali. Berikut ini akan kita perhatikan pernyataan resmi beberapa ulama Ahlussunah perihal pandangan mazhab mereka berkaitan dengan kekhalifahan Ali bin Abi Thalib:

1. Dari Abbas ad-Dauri, dari Yahya bin Mu’in, ia mengatakan: “Sebaik-baik umat setelah Rasulullah adalah Abu Bakar dan Umar, kemudian Usman, lantas Ali. Ini adalah mazhab kami, juga pendapat para imam kami. Sedang Yahya bin Mu’in berpendapat: Abu Bakar, Umar, Ali dan Usman”.[51]

2. Dari Harun bin Ishaq, dari Yahya bin Mu’in: “Barangsiapa yang menyatakan Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali (Radhiyallahu anhum) –dan mengakui Ali sebagai pemilik keutamaan, maka ia adalah pemegang as-Sunnah (Shahib as-Sunnah)…lantas kusebutkan baginya oknum-oknum yang hanya menyatakan Abu Bakar, Umar dan Usman, kemudian ia diam (tanpa menyebut Ali .red), lantas ia mengutuk (oknum tadi) mereka dengan ungkapan yang keras”.[52]

3. Berkata Abu Umar –Ibnu Abdul Bar- perihal seseorang yang berpendapat sebagaimana hadis dari Ibnu Umar: “Dahulu, pada zaman Rasul, kita mengatakan: Abu Bakar, kemudian Umar, lantas Usman, lalu kami diam –tanpa melanjutkannya)”. Itulah yang diingkari oleh Ibnu Mu’in dan mengutuknya dengan ungkapan kasar. Karena yang menyatakan hal itu berarti telah bertentangan dengan apa yang telah disepakati oleh Ahlussunah, baik mereka dari pendahulu (as-Salaf), maupun dari yang datang terakhir (al-Khalaf) dari para ulama fikih dan hadis. Sudah menjadi kesepakatan (Ahlussunah) bahwa Ali adalah paling mulianya manusia, setelah Usman. Namun, mereka berselisih pendapat tentang, siapakah yang lebih utama, Ali atau Usman? Para ulama terdahulu (as-Salaf) juga telah berselisih pendapat tentang keutamaan Ali atas Abu Bakar. Namun, telah menjadi kesepakatan bagi semuanya bahwa, sebagaimana yang telah kita sebutkan, semua itu telah menjadi bukti bahwa hadis Ibnu Umar memiliki kesamaran dan kesalahan, dan tidak bisa diartikan semacam itu, walaupun dari sisi sanadnya dapat dibenarkan”.[53]

Jadi jelaslah bahwa menurut para pemuka Ahlussunah, Ali adalah sahabat terkemuka yang termasuk jajaran tokoh para sahabat yang menjadi salah satu khalifah pasca Rasul. Berbeda halnya dengan apa yang diyakini oleh Ibnu Taimiyah, seorang ulama generasi akhir (khalaf) yang mengaku sebagai penghidup pendapat ulama terdahulu (salaf), namun banyak pendapatnya justru berseberangan dengan pendapat salaf saleh.

Pernyataan Ulama Ahlusunnah Perihal Pandangan Ibnu Taimiyah Tentang Ali:

Pada bagian kali ini akan kita nukil beberapa pernyataan ulama Ahlusunnah perihal pernyataan Ibnu Taimiyah yang cenderung melecehkan Ali bin Abi Thalib:

1. Ibnu Hajar al-Asqalani dalam menjelaskan tentang pribadi Ibnu Taimiyah mengatakan: “Ia terlalu berlebihan dalam menghinakan pendapat rafidhi (Allamah al-Hilli seorang ulama Syiah. red) sehingga terjerumus kedalam penghinaan terhadap pribadi Ali”.[54]

2. Allamah Zahid al-Kautsari mengatakan: “…dari beberapa ungkapannya dapat dengan jelas dilihat kesan-kesan kebencian terhadap Ali”.[55]

3. Syeikh Abdullah Ghumari pernah menyatakan: “Para ulama yang sezaman dengannya menyebutnya (Ibnu Taimiyah) sebagai seorang yang munafik dikarenakan penyimpangannya atas pribadi Ali”.[56]

4. Syeikh Abdullah al-Habsyi berkata: “Ibnu Taimiyah sering melecehkan Ali bin Abi Thalib dengan mengatakan: Peperangan yang sering dilakukannya (Ali) sangat merugikan kaum muslimin”.[57]

5. Hasan bin Farhan al-Maliki menyatakan: “Dalam diri Ibnu Taimiyah terdapat jiwa ¬nashibi dan permusuhan terhadap Ali”.[58]

6. Hasan bin Ali as-Saqqaf berkata: “Ibnu Taimiyah adalah seorang yang disebut oleh beberapa kalangan sebagai ‘syeikh Islam’, dan segala ungkapannya dijadikan argumen oleh kelompok tersebut (Salafy). Padahal, ia adalah seorang nashibi yang memusuhi Ali dan menyatakan bahwa Fathimah (puteri Rasulullah. red) adalah seorang munafik”.[59]

Dan masih banyak lagi ungkapan ulama Ahlusunnah lain yang menyesalkan atas prilaku pribadi yang terlanjur terkenal dengan sebutan ‘syeikh Islam’ itu. Untuk mempersingkat pembahasan, dalam makalah ini kita cukupkan beberapa ungkapan mereka saja. Namun di sini juga akan dinukil pengakuan salah seorang ahli hadis dari kalangan wahabi (pengikut Ibnu Taimiyah sendiri .red) sendiri dalam mengungkapkan kebingungannya atas prilaku imamnya (Ibnu Taimiyah) yang meragukan beberapa hadis keutamaan Ali bin Abi Thalib. Ahli hadis tersebut bernama Nashiruddin al-Bani. Tentu semua pengikut Salafy (Wahabi) mengenal siapa dia. Seusai ia menganalisa hadis al-wilayah[60] (kepemimpinan) yang berkaitan dengan Ali bin Abi Thalib, lantas ia mengatakan: “Anehnya, bagaimana mungkin syeikh Islam Ibnu Taimiyah mengingkari hadis ini, sebagaimana yang telah dia lakukan pada hadis-hadis sebelumnya (tentang Ali), padahal ia memiliki berbagai sanad yang sahih. Hal ini ia lakukan, tidak lain karena kebencian yang berlebihan terhadap kelompok Syiah”.[61]

Dari sini jelas bahwa akibat kebencian terhadap satu kelompok secara berlebihan menyebabkan Ibnu Taimiyah terjerumus ke dalam lembah kemungkaran dan kesesatan, sehingga menyebabkan ia telah menyimpang dari ajaran para salaf saleh yang selalu diakuinya sebagai pondasi ajarannya. Bukankah orang yang disebut ‘syeikh Islam’ itu mesti telah membaca hadis yang tercantum dalam Shahih Muslim –kitab yang diakuinya sebagai paling shahihnya kitab- yang menyatakan: “Aku bersumpah atas Dzat Yang menumbuhkan biji-bijian dan Pencipta semesta, Rasul telah berjanji kepadaku (Ali); Tiada yang mencintaiku melainkan seorang mukmin, dan tiada yang membenciku melainkan orang munafik”.[62] Sedang dalam hadis lain, diriwayatkan dari ummulmukminin Ummu Salamah: “Seorang munafik tiada akan mencintai Ali, dan seorang mukmin tiada akan pernah memusuhinya”.[63] Dan dari Abu Said al-Khudri yang mengatakan: “Kami dari kaum Anshar dapat mengenali para munafik melalui kebencian mereka terhadap Ali”.[64]

Jika sebagian ulama Ahlusunnah telah menyatakan, akibat kebencian Ibnu Taimiyah terhadap Ali dengan ungkapan-ungkapannya yang cenderung melecehkan sahabat besar tersebut sehingga ia disebut nashibi, lantas jika dikaitkan dengan tiga hadis di atas tadi yang menyatakan bahwa kebencian terhadap Ali adalah bukti kemunafikan, maka apakah layak bagi seorang munafik yang nashibi digelari ‘Syeikh al-Islam’? ataukah pribadi semacam itu justru lebih layak jika disebut sebagai ‘Syeikh al-Munafikin’? Jawabnya, tergantung pada cara kita dalam mengambil benang merah dari konsekuensi antara ungkapan beberapa ungkapan ulama Ahlusunnah dan beberapa hadis yang telah disebutkan di atas tadi.

Penutup:

Dari sini jelaslah, bahwa para ulama Salaf maupun Khalaf -dari Ahlussunah wal Jamaah- telah mengakui keutamaan Ali, dan mengakui kekhalifahannya. Lantas dari manakah manusia semacam Ibnu Taimiyah yang mengaku sebagai penghidup mazhab salaf saleh namun tidak menyinggung-nyinggung kekhalifahan Ali, bahkan berusaha menghapus Ali dari jajaran kekhilafahan Rasul? Masih layakkah manusia seperti Ibnu Taimiyah dinyatakan sebagai pengikut Ahlusunnah wal Jama’ah, sementara pendapatnya banyak bertentangan dengan kesepakatan ulama salaf maupun khalaf dari Ahlussunah wal Jamaah? Ataukah dia hanya mengaku dan membajak nama besar salaf saleh? Tegasnya, pandangan-pandangan Ibnu Taimiyyah tadi justru lebih layak untuk mewakili kelompok salaf yang dinyatakan oleh kaum muslimin sebagai salaf thaleh (lawan dari kata salaf saleh), seperti Yazid bin Muawiyah beserta gerombolannya.

Tetapi anehnya, para pengikut Ibnu Taimiyah yang juga ikut-ikutan mengatasnamakan dirinya “penghidup ajaran Salaf” (Salafy/Wahaby), masih terus bersikeras untuk diakui sebagai pengikut Ahlussunah, padahal di sisi lain, mereka masih terus menjunjung tinggi ajaran dan doktrin Ibnu Taimiyah yang jelas-jelas telah keluar dari kesepakatan (konsensus) ulama Ahlussunah beserta "ajaran resmi" Ahlussunah wal Jamaah. Mereka berpikir, jalan pintas yang paling aman dan mudah untuk mendapat pengakuan itu adalah dengan memusuhi Syiah. Mengangkat isu-isu ikhtilaf Sunnah-Syiah adalah sarana paling efektif untuk menempatkan kaum Salafy supaya diterima dalam lingkaran Ahlussunnah. Sehingga mereka pun berusaha sekuat tenaga agar semua usaha pendekatan, pintu dialog ataupun persatuan antara Sunnah-Syiah harus ditentang, ditutup dan digagalkan. Karena, jika antara Sunnah-Syiah bersatu, maka kedok mereka akan tersingkap, dan hal itu akan mengakibatkan nasib mereka kian tidak menentu.[]


Penulis: Mahasiswa S2 Jurusan Perbandingan Agama dan Mazhab di Universitas Imam Khomeini, Qom-Republik Islam Iran,


Rujukan:
________________________________________

[2] Dalam kitab Mustadrak as-Shohihain Jil:3 Hal:483 karya Hakim an-Naisaburi atau kitab Nuur al-Abshar Hal:69 karya as-Syablanji disebutkan, bahwa Ali adalah satu-satunya orang yang dilahirkan dalam Baitullah Ka’bah. Maryam ketika hendak melahirkan Isa al-Masih, ia diperintahkan oleh Allah untuk menjauhi tempat ibadah, sedang Fatimah binti Asad ketika hendak melahirkan Ali, justru diperintahkan masuk ke tempat ibadah, Baitullah Ka’bah. Ini merupakan bukti, bahwa Ali memiliki kemuliaan tersendiri di mata Allah. Oleh karenanya, dalam hadis yang dinukil oleh Ibnu Atsir dalam kitab Usud al-Ghabah Jil:4 Hal:31 dinyatakan, Rasul bersabda: “Engkau (Ali) sebagaimana Ka’bah, didatangi dan tidak mendatangi”.

[3] Pembunuh Ali, Abdurrahman bin Muljam al-Muradi, dalam banyak kitab disebutkan sebagai paling celakanya manusia di muka bumi. Lihat kitab-kitab semisal Thobaqoot Jil:3 Hal:21 karya Ibnu Sa’ad, Tarikh al-Baghdadi Jil:1 Hal:135, Usud al-Ghabah Jil:4 Hal:24 karya Ibnu Atsir, Qoshos al-Ambiya’ Hal:100 karya ats-Tsa’labi.

[4] Dalam kitab Fathul-Bari disebutkan bahwa pribadi-pribadi seperti imam Ahmad bin Hambal, imam Nasa’i, imam an-Naisaburi dan sebagainya mengakui bahwa hadis-hadis tentang keutamaan Ali lebih banyak dibanding dengan keutamaan para sahabat lainnya.

[5] Lihat Tarikh at-Tabari Jil:2 Hal:62

[6] Minhaj as-Sunnah Jil:8 Hal:281, karya Ibnu Taimiyah al-Harrani

[7] Lihat Shohih Muslim Kitab: Fadho’il as-Shohabah Bab:Fadhoil Ahlul Bait an-Nabi, Shohih at-Turmudzi Jil:2 Hal:209/319, Tafsir ad-Dur al-Mantsur karya as-Suyuthi dalam menafsirakan surat 33:33 Jil:5 Hal:198-199, Musnad Ahmad bin Hambal Jil:1 Hal:330 atau Jil:6 Hal:292, Usud al-Ghabah karya Ibnu al-Atsir Jil:2 Hal:20 atau Jil:3 Hal:413, Tarikh al-Baghdadi Jil:10 Hal:278…dsb

[8] Jamii’ al-Jawami’ Jil:6 Hal:398, karya as-Suyuthi

[9] Kanz al-Ummal Jil:6 Hal:156, karya al-Muttaqi al-Hindi

[10] Hilliyah al-Auliya’ Jil:1 Hal:65, karya Abu Na’im al-Ishbahani

[11] al-Istii’ab Jil:3 Hal:40, karya al-Qurthubi, atau Tarikh al-Khulafa’ Hal:115 karya as-Suyuthi

[12] Tadzkirah al-Khawash Hal:87, karya Sibth Ibn al-Jauzi

[13] al-Istii’ab Jil:3 Hal:40

[14] Al-Ishobah Jil:2 Hal:509, karya Ibnu Hajar al-Asqolani, atau Hilliyah al-Auliya’ Jil:1 Hal:65

[15] Miftah as-Sa’adah, Jil:1 Hal:400

[16] Siar A’lam an-Nubala’ (khulafa’) Hal:239, karya adz-Dzahabi

[17] Al-Bidayah wa an-Nihayah Jil:7 Hal:332

[18] Minhaj as-Sunnah Jil:7 Hal:511 & 461

[19] Ibid Jil:8 Hal:97

[20] Ibid Jil:7 Hal:515

[21] Ibid Jil:7 Hal:512

[22] Ibid Jil:7 Hal: 535

[23] Ibid Jil:5 Hal:513

[24] Ibid Jil:6 Hal:18

[25] Ibid Jil:8 Hal:234

[26] Dinukil dari Fathul Bari Jil:7 Hal:89 karya Ibnu Hajar al-Asqolani, Tarikh Ibnu Asakir Jil:3 Hal:83, Siar A’lam an-Nubala’ (al-Khulafa’) Hal:239

[27] Minhaj as-Sunnah Jil:4 Hal:485

[28] Ibid Jil:8 Hal:329 atau Jil:4 Hal:500

[29] Pernyataan aneh yang terlontar dari Ibnu Taimiyah. Apakah dia tidak pernah menelaah hadis yang tercantum dalam kitab Mustadrak as-Shahihain Jil:3 Hal:139 dimana Abu Ayub berkata pada waktu kekhilafahan Umar bin Khatab dengan ungkapan; “Rasulullah telah memerintahkan Ali bin Abi Thalib untuk memerangi kaum Nakitsin (Jamal), Qosithin (Shiffin) dan Mariqin (Nahrawan)”. Begitu pula yang tercantum dalam kitabTarikh al-Baghdadi Jil:8 Hal:340, Usud al-Ghabah karya Ibnu Atsir Jil:4 Hal:32, Majma’ az-Zawa’id karya al-Haitsami Jil:9 Hal:235, ad-Dur al-Mantsur karya as-Suyuthi dalam menafsirkan ayat ke-41 dari surat az-Zukhruf, dsb? Ataukah Ibnu Taimiyah sudah tidak percaya lagi kepada para sahabat yang merawikan hadis tersebut? Bukankah ia telah terlanjur menyatakan bahwa sahabat adalah Salaf Saleh yang ajarannya hendak ia tegakkan?

[30] Ibid Jil:6 Hal:356

[31] Faidh al-Qodir Jil:6 Hal:336

[32] Minhaj as-Sunnah Jil:2 Hal:404

[33] Ibid Jil:1 Hal:537

[34] Ibid Jil:6 Hal:419

[35] Ibid Jil:4 Hal:682

[36] Thobaqoot al-Hanabilah Jil:1 Hal:45

[37] Aimmah al-Fiqh at-Tis’ah Hal:8

[38] As-Sunnatu Halal Hal:235

[39] Al-Isti’aab Jil:3 Hal:213

[40] Mustadrak as-Shahihain Jil:3 Hal:142. Hadis serupa –dengan sedikit perbedaan redaksi- juga dapat ditemukan dalam kitab-kitab lain semisal; Tarikh al-Baghdadi Jil:13 Hal:32, Usud al-Ghabah Jil:4 Hal:383, Majma’ az-Zawa’id Jil:9 Hal:131, ar-Riyadh an-Nadhrah Jil:2 Hal:213, dsb.

[41] Shahih at-Turmudzi Jil:2 Hal:299. Hadis serupa –dengan sedikit perbedaan redaksi- juga dapat ditemukan dalam kitab-kitab semisal; Shahih Muslim kitab al-Iman, Shahih an-Nasa’I Jil:2 Hal:271, Musnad Ahmad bin Hambal Jil:1 Hal:84, Mustadrak as-Shahihain Jil:3 Hal:129, Tarikh al-Baghdadi Jil:3 Hal:153, Majma’ az-Zawa’id Jil:9 Hal:133, dsb.
[42] Mustadrak as-Shahihain Jil:3 Hal:128. Hadis semacam ini –walau dengan sedikit perbedaan redaksi- juga dapat ditemukan dalam kitab-kitab semisal; Usud al-Ghabah Jil:4 Hal:23 atau Jil:6 Hal:101, al-Ishabah karya Ibnu Hajar Jil:3 Bagian ke-1 Hal:20, ar-Riyadh an-Nadhrah Jil:2 Hal:215, Tarikh al-Baghdadi Jil:4 Hal:102, dsb.

[43] Tarikh al-Baghdadi Jil:1 Hal:259.

[44] Ibid Jil:3 Hal:289-290

[45] Mustadrak as-Shahihain Jil:11 Hal:204. Hadis yang sama dengan sedikit perbedaan redaksi juga dapat ditemukan dalam Shahih at-Turmudzi Jil:2 Hal:229.

[46] Ibid Jil:3 Hal:128. Hadis yang sama dapat juga ditemukan dalam kitab lain semacam; as-Showa’iq al-Muhriqah karya Ibnu Hajar Hal:73, Tarikh al-Baghdadi Jil:2 Hal:377, ar-Riyadh an-Nadhrah Jil:2 Hal:193, Kunuz al-Haqa’iq karya al-Manawi Hal:43, dsb.

[47] Ibdi Jil:3 Hal:122. Hadis serupa juga dapat ditemukan dalam kitab Hilliyat al-Auliya’ karya Abu Na’im Jil:1 Hal:63.

[48] As-Showa’iq al-Muhriqoh Hal:75. Hadis semacam ini dapat pula dilihat dalam kitab-kitab semisal Mustadrak as-Shahihain Jil:3 Hal:124, Majma’ az-Zawa’id Jil:9 Hal:134, dsb.

[49] Tarikh al-Baghdadi Jil:14 Hal:321. Hadis serupa juga dapat dijumpai dalam kitab Shahih at-Turmudzi Jil:2 Hal:298, Mustadrak as-Shahihain Jil:3 Hal:119, Majma’ az-Zawa’id Jil:7 Hal:235, Kanzul Ummal karya al-Muttaqi al-Hindi Jil:6 Hal:157, dsb dengan sedikit perbedaan redaksi.

[50] Usud al-Ghabah Jil:4 Hal:32-33. Hadis serupa juga dapat ditemukan dalam kitab-kitab lain seperti; Mustadrak as-Shahihain Jil:4 Hal:139, Tarikh Baghdadi Jil:8 Hal:340 atau Jil:13 Hal:186, Majma’ az-Zawa’id Jil:9 Hal:235, Tafsir ad-Dur al-Mantsur karya as-Suyuthi dalam menafsirkan ayat 41 dari surat az-Zukhruf, dsb.

[51] Al-Isti’aab Jil:3 Hal:213

[52] Ibid

[53] Ibid Jil:3 Hal:214

[54] Lisan al-Mizan Jil:6 Hal:319-320

[55] Al-Hawi fi Sirah at-Thahawi Hal:26

[56] Ar-Rasail al-Ghomariyah Hal:120-121

[57] Al-Maqolaat as-Saniyah Hal:200

[58] Dinukil dari kitab Nahwa Inqod at-Tarikh al-Islami karya Sulaiman bin Shaleh al-Khurasyi hal:35

[59] At-Tanbih wa ar-Rad Hal:7

[60] Hadis yang mengatakan: Ali waliyu kulli mukmin min ba’dy (Ali adalah pemimpin setiap mukmin setelahku)

[61] Silsilah al-Ahadis as-Shohihah, Hadis no: 2223

[62] Shohih Muslim Jil:1 Hal:120 Hadis ke-131 Kitab: al-Iman, atau Shohih at-Turmudzi Jil:5 Hal:601

Hadis ke-3736, dan atau Sunan Ibnu Majah Jil:1 Hal:42 Hadis ke-114

[63] Shohih at-Turmudzi Jil:5 Hal:594 Hadis ke-3717

[64] Ibid Hal:593