Kamis, 05 Maret 2009

PENEGAK MAZHAB UKHUWAH

Ditulis pada April 23, 2008 oleh kajianislam
PENEGAK MAZHAB UKHUWAH

Hari ini, 13 Rajab, sekitar 14 abad lalu, lahir seorang anak di dalam Ka`bah. Ibunya menamainya Haydhar (Singa). Muhammad saw, yang kelak menjadi guru dan saudara setianya, menamainya Ali. Ketika keadaan ekonomi keluarga Abu Thalib melemah, Muham­mad saw. membawa Ali ke rumah. Dia tumbuh besar di samping Mu­hammad Rasulullah saw. Tidak jarang dia tidur satu ranjang de­ngan Rasulullah saw. Ketika kecil, dia menghangatkan badannya dan merapatkannya ke tubuh Nabi. “Aku tidak pernah melupakan semerbak tubuh Rasul,” kata Ali kemudian hari.

Setelah dewasa, dia sering duduk di samping Nabi, menghangatkan nyala iman di hatinya. Dia anak muda yang hampir seluruh hidupnya belajar di “Universitas” Nabawi. Dia tumbuh dalam asuhan wahyu. Dia diwisuda di Ghadir Khum pads 14 Hijri, dan disumpah untuk melanjutkan ajaran gurunya. Nabi melantiknya dan melingkarkan serban hitam (al-sahab) di kepalanya. “Man kuntu mawlah, fa `aliyun mawlah,” seru Rasulullah saw. di depan puluhan ribu jamaah haji. Sepanjang sejarah, ribuan orang saleh menggemakan ucapan Nabi itu: Man kuntu mawlah, fa `aliyun mawlah (Siapa yang menjadikan aku sebagai mawla-nya, hendaknya Ali pun men­jadi mawla-nya pula).

Apa arti mawla? Menurut kamus, mawla artinya pemimpin, pelindung, sahabat, kekasih. Secara singkat, mawla berarti rujukan. Siapa yang merujuk kepada Rasulullah saw. dalam pikiran dan perilaku hendaknya merujuk juga kepada Ali. Mazhab Ali adalah mazhab Rasulullah saw. “Hai Ali, kedudukanmu terhadapku sama seperti kedudukan Harun terhadap Musa a.s.,” kata Nabi meyakin­kan Ali dan setiap kaum Mukmin.

Jabir bin Abdullah, seperti dikisahkan kembali oleh Jala­luddin Al-Suyuthi dalam Al-Durr Al-Mantsur, bercerita: Suatu hari kami berkumpul bersama Nabi saw. Ali datang. Nabi berkata: “Demi Allah yang diriku berada di dalam kekuasaannya, sesung­guhnya orang ini dan pengikutnya adalah orang-orang yang ber­untung pada Hari Kiamat nanti.” Lalu turunlah ayat, Orang-orang yang beriman dan beramal saleh, merekalah makhluk yang paling baik (khayrul-bariyyah) (QS 98:7). Sejak saat itu, setiap kali Ali lewat, para sahabat berkata: Telah datang khayr-ul-bariyyah.

Ketika Aisyah r.a. ditanya tentang akhlak Nabi, dia men­jawab: “Akhlak Nabi itu Al-Quran.” Bila para sahabat Nabi di­tanya bagaimana akhlak Ali, mereka akan berkata: “Akhlak Ali itu akhlak Rasulullah saw.” Bila kita ditanya bagaimana akhlak Mukmin yang saleh (khayrul-bariyyah), kita akan menjawab: “Akhlaknya Ali bin Abi Thalib.”

Bagaimana akhlak Ali? Musthafa Bek Najib dari Universitas Al-Azhar, Kairo, menulis dalam Himayat Al-Islam, “Apa yang harus dikatakan mengenai Imam ini? Amatlah sulit menjelaskan akhlak dan sifat-sifatnya. Cukuplah dikatakan bahwa Nabi saw. menyebut dia sebagai pintu ilmu dan hikmah. Dia orang yang paling berilmu, paling berani, dan paling fasih berbicara. Ketakwa­annya, kecintaannya kepada Allah, keikhlasan dan keteguhan imannya mencapai tingkat yang begitu tinggi, sehingga orang lain sukar menyamainya. Dia adalah politikus besar karena dia mem­benci diplomasi dan mencintai kebenaran dan keadilan.

Kebijakannya adalah kebijakan yang diajarkan Tuhan. Karena kearifannya dan karena pengetahuannya tentang jiwa manusia, dia hampir selalu mencapai kesimpulan yang benar dan tidak pernah membuang pendapatnya. Keputusannya adalah keputusan yang terbaik. Seandainya dia tidak takut kepada Allah, dia akan menjadi diplomat Arab terbesar.

Dia dicintai oleh semua orang. Di hati setiap orang ada tempat untuk Ali. Dia orang yang memiliki akhlak yang begitu tinggi dan mulia serta sifat-sifat yang begitu piawai sehingga banyak orang terpelajar tersesat dan mem­bayangkannya sebagai inkarnasi Tuhan. Sebagian orang Yahudi dan Nashara mencintainya. Para filosof yang telah mengenalinya tunduk di hadapan keluasan ilmunya. Raja-raja Romawi meng­gantungkan gambarnya di istana-istana mereka dan para prajurit agung mengukirkan namanya di pedang-pedang mereka.”

Filosof Mesir ini mungkin akan dianggap mengkultuskan Ali oleh orang-orang yang tidak mengenalnya. Lukisannya yang panjang dapat disimpulkan dalam satu kalimat: Ali adalah penegak Mazhab Akhlak. Mazhab ini mengajarkan prinsip akhlak untuk menilai manusia. Orang tidak boleh dihargai -atau dikecam- karena pendapatnya, apalagi karena kekayaan, keturunan, dan kedudukannya. Setiap orang memperoleh derajat sesuai dengan amalnya. (QS 6:132)

Ketika Imam Al-Askari, cucu Ali, ditanya tentang tanda-­tanda pengikut Ali, dia menjawab: “Pengikut Ali adalah orang yang berjuang di jalan Allah; mereka tidak peduli apakah maut menjemput mereka, atau mereka menjemput maut. Pengikut Ali adalah mereka yang mendahulukan saudara-saudara mereka, walaupun mereka sendiri kepayahan. Kamu tidak akan melihat di dalam diri mereka perilaku yang dilarang Allah. Kamu tidak akan kehilangan perilaku yang diperintahkan Allah di dalam diri mereka. Pengikut Ali adalah mereka yang mengikuti Ali dalam memuliakan saudara-saudaranya yang Muslim.”

Ja’far Al-Shadiq (cucu Ali) mendefinisikan pengikut mazhab Ali sebagai “Orang yang memberikan apa yang dipandang baik dan menahan apa yang dipandang jelek, menampakkan yang indah dan bersegera, melakukan hal-hal yang mulia.”

Bila mazhab Ali adalah mazhab Islam juga, apakah semua orang Islam adalah pengikut mazhab Ali? jawabannya tidak. Bila orang Islam itu mengukur orang lain dari aliran pikirannya, dari pendapatnya, dari golongannya, bukan dari amalnya, maka dia bukan pengikut mazhab Ali. Bila orang Islam itu membanggakan kelompoknya, mengecam dan mencaci kelompok yang lain, seraya tidak menunjukkan prestasi dan amal yang mulia, maka dia bukan pengikut Ali.

Banyak orang menyebut Syi`ah sebagai pengikut Ali. Apakah semua Syi`ah itu bermazhab Ali? Tidak. Orang Syi`ah yang merasa diri paling benar tetapi berakhlak rendah, yang memperbesar per­bedaan pendapat tetapi lupa meningkatkan kualitas pribadinya, yang memuji-muji Ali tetapi tidak menirunya, bukanlah pengikut Ali. Orang Syi`ah yang eksklusif, memisahkan diri dari jamaah kaum Muslim, meremehkan Ahlu-Sunnah, juga bukan pengikut Ali.

Ahlu-Sunnah menjadi pengikut Ali ketika ia berlomba-lomba melakukan kebaikan, menyucikan dirinya dari kemaksiatan, meng­hindari kecaman terhadap golongan yang tidak satu paham, dan -sekali lagi- hanya mengukur baik-buruknya orang dari akhlaknya.

Karen status manusia ditetapkan oleh akhlaknya, maka fanatisme golongan (taashshub) tidak ada dalam mazhab Ali. Akibatnya, mazhab Ali adalah mazhab ukhuwwah. Ketika Abu Bakar menjadi khalifah, Abu Sufyan menawarkan bantuan kepada Ali untuk merebut kekuasaan. Ali menolaknya. Dia tidak setuju dengan pemilihan Abu Bakar yang terburu-buru, tetapi dia juga tidak ingin merusak keutuhan umat. Ketika istrinya, Fathimah binti Rasulullah, menuntut tanah Fadak dari Abu Bakar, Ali mem­bantunya. Untuk menjaga perasaan istrinya, Ali menangguhkan bay `ah kepada Abu Bakar sampai Fathimah wafat.

Ketika Ali menjadi khalifah, Aisyah, Zubayr, dan Thalhah memimpin gerakan perlawanan. Ali tidak segera melakukan tindakan represif. Utusan dikirim kepada Aisyah untuk mencari jalan damai. Utusan itu gagal. Di medan pertempuran, ketika Thalhah dan Zubayr mengajaknya bertanding, Ali datang dengan tangan kosong. Dengan lemah lembut dia mengingatkan Zubayr akan wasiat Nabi. Zubayr terharu, dan memeluk Ali dengan me­nangis. Thalhah juga disambut Ali dengan nasihat. Ketika pasukan Aisyah kalah, Ali mengamanatkan pasukannya agar menghormati Ummul-Mu’minin itu. Aisyah dikembalikan ke Madinah dengan penuh penghormatan dan perlindungan.

Kepada Mu`awiyah yang sejak awal melakukan intrik-intrik untuk menyingkirkan Ali, Ali masih juga mengirim Surat berisi nasihat. Di medan Shiffin, ketika pasukan Ali hampir menang, Ali dapat saja menghancurkan pasukan Mu`awiyah. Tetapi, ketika Al-Quran diangkat, musuh mengajak berdamai, Ali menghentikan peperangan. Bagi Ali, perdamaian di antara kaum Muslim adalah puncak kemenangan.
Pada masa pemerintahannya, seorang di antara rakyatnya mengkritik Ali. “Dahulu, ketika Abu Bakar dan Umar memerin­tah, tidak terjadi perpecahan Islam seperti sekarang, tapi berbeda dengan ketika engkau memerintah.” Ali membalas ucapan itu dengan cepat, “Dahulu Abu Bakar dan Umar memerintah orang seperti aku; sedangkan sekarang aku memerintah orang seperti k amu! ”


______________
Oleh: KH. Jalaluddin Rakhmat
Dalam bukunya “Islam Aktual” hal.: 34-37

Senin, 02 Maret 2009

“Aku Membenci Kebenaran dan Menyukai Fitnah”

“Bagaimana engkau menginginkanku pagi hari ini? Pagi ini, demi Allah, aku membenci kebenaran, menyukai fitnah, bersaksi dengan apa yang tidak aku lihat, menghafal selain makhluk, bershalat tanpa wudhu, di bumi aku memiliki sesuatu yang tidak dimiliki Allah.”

———————————————————

“Aku Membenci Kebenaran dan Menyukai Fitnah”

Allamah Kanji Syafi’i meriwayatkan melalui sanadnya dari Huzaifah bin Yaman yang bertemu Umar bin Khatab. Saat itu Umar bin Khatab bertanya kepadanya, “Bagaimana kabarmu pagi ini, wahai Ibnu Yaman?”

Dia menjawab, “Bagaimana engkau menginginkanku pagi hari ini? Pagi ini, demi Allah, aku membenci kebenaran, menyukai fitnah, bersaksi dengan apa yang tidak aku lihat, menghafal selain makhluk, bershalat tanpa wudhu, di bumi aku memiliki sesuatu yang tidak dimiliki Allah.”

Maka Umar bin Khatab marah mendengar jawabannya dan segera berlalu darinya. Umar bin Khatab bertekad menghukumi Huzaifah karena mengeluarkan pendapat tersebut. Dalam perjalanan Umar bin Khatab berpapasan dengan Ali bin Abi Thalib yang melihat amarah di wajah Umar bin khatab.

Ali bertanya, “Apa yang telah membuatmu marah, wahai Umar?”, Umar menjawab, “Aku bertemu Huzaifah bin Yaman, lalu bertanya tentang kabarnya pagi ini? Dia menjawab bahwa pagi ini dia membenci kebenaran.”

Ali bin abi Thalib menjawab, “Dia benar. Dia membenci kematian, dan kematian adalah haq (benar).” Umar berkata, “Tidak, dia berkata, “Aku mencintai fitnah.”

Ali menjawab, “Dia benar, dia mencintai harta dan anaknya. Bukankah Allah swt telah berfirman dalam al-Qur’an, “Sesungguhnya harta kalian dan anak-anak adalah fitnah…(al-Anfal:28).”

Umar berkata lagi, “Wahai Ali, dia berkata, “Aku bersaksi atas apa yang tidak aku lihat.” Ali menjawab, “Dia benar, dia bersaksi atas keesaan, kematian, kebangkitan, kiamat, surga, neraka dan shirath, padahal dia tidak dan belum melihat semua itu.”

Umar berkata lagi, “Wahai Ali, dia berkata, “Sesungguhnya aku menghafal selain makhluk Allah.” Ali menjawab, “Dia benar, dia hapal kitab Allah swt, al-Qur’an dan itu bukan makhluk Allah.”

Umar berkata, “Dia berkata, “Aku bershalat tanpa wudhu.” Ali menjawab, “Dia benar, shalat (shalat memiliki dua arti; shalat dan shalawat, maksud Huzaifah adalah shalawat –Allohuma shalli ala Muhamad wa aali Muhamad-) kepada putra pamanku, Rasulullah saww tanpa harus berwudhu, seperti itu diperbolehkan.”

Umar berkata, “Wahai Aba Hasan, dia berkata lebih dari itu.” “Apa yang dia katakan?” tanya Ali. Umar berkata, “Sesungguhnya di bumi ini, aku memiliki apa yang tidak dimiliki Allah swt.”

Ali menjawab, “Dia benar, dia memiliki anak istri dan Allah tidak memiliki anak dan tidak pula memiliki istri.” Lalu Umar berkata, “hampir saja putra Khatab celaka kalau tidak ada Ali bin Abi Thalib.” Kanji berkata, “Kisah ini banyak dinukil oleh para perawi, disebut oleh para sejarah”. [Kifayah ath-Thalib, Nudzum Durar as-Simthain, Nur al-Abshar, Faraid as-Simthain, Al-Fushul al-Muhimmah Ibnu Shibagh]

[ED, dinukil dari ‘Kenapa Mesti Ali’, karya Medi Fakih Imani halaman 129-130]

Tanggapan

  1. Celakalah orang yang memelihara sikap terburu-buru, telendor, dan mudah menarik kesimpulan atas sebuah fenomena.


  2. subhanallah
    sungguh luas ilmu allh
    seperti yg dinukil ali


  3. Alangkah indahnya apabila semua orang mempunyai fikiran seperti Imam Ali AS, apalagi di era komunikasi seperti sekarang ini dimana komunikasi mampu membangun dan menghancurkan suatu negara…
    pokoke two tumbs up deh…
    afwan


  4. sungguh luas ilmu yg diberikan Rasullullah Saaw kepada Imam Ali sehingga bak kota ilmu maka Ali adalah pintunya… dengan akal yg sehat kita mempertanyakan kenapa Umar menjadi khalifah ???????????….. sungguh islam telah di khianati sepeninggal Rasul suci…isfalana ya nabiAllah