Kamis, 21 Januari 2010

Ali bin Abi Thalib di Mata Ibnu Taimiyah

Oleh: Muchtar Luthfi

Tetapi anehnya, para pengikut Ibnu Taimiyah yang juga ikut-ikutan mengatasnamakan dirinya “penghidup ajaran Salaf” (Salafy/Wahaby), masih terus bersikeras untuk diakui sebagai pengikut Ahlussunah, padahal di sisi lain, mereka masih terus menjunjung tinggi ajaran dan doktrin Ibnu Taimiyah yang jelas-jelas telah keluar dari kesepakatan (konsensus) ulama Ahlussunah beserta "ajaran resmi" Ahlussunah wal Jamaah. Mereka berpikir, jalan pintas yang paling aman dan mudah untuk mendapat pengakuan itu adalah dengan memusuhi Syiah. Mengangkat isu-isu ikhtilaf Sunnah-Syiah adalah sarana paling efektif untuk menempatkan kaum Salafy supaya diterima dalam lingkaran Ahlussunnah.
--------------------------------------------------------------
ALI BIN ABI THALIB adalah satu sosok sahabat terkemuka Rasulullah saw. Terlampau banyak keutamaan yang disematkan pada diri Ali, baik melalui wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah, maupun melalui hadis yang secara langsung disampaikan oleh Rasul. Keutamaan Ali dapat dilihat dari banyak sudut pandang. Dilihat dari proses kelahiran[2] hingga kesyahidannya.[3] Dari kedekatannya dengan Rasulullah, hingga kecerdasannya dalam menyerap semua ilmu yang diajarkan oleh Rasul kepadanya. Dari situlah akhirnya ia mendapat banyak kepercayaan dari Rasul dalam melaksanakan tugas-tugas ritual maupun sosial keagamaan.

Dengan menilik berbagai keutamaan Ali[4], maka sudah menjadi kesepakatan kaum muslimin –baik Ahlussunnah, maupun Syiah- bahwa Ali bin Abi Thalib adalah salah satu khalifah pasca Rasulullah.[5] Walaupun terdapat perbedaan pendapat antara Ahlussunah dan Syiah tentang urutan kekhilafahan pasca Rasul, tetapi yang jelas mereka sepakat bahwa Ali termasuk salah satu jajaran khalifah Rasul.

Pada tulisan ringkas ini akan dibahas perihal pendapat Ibnu Taimiyah tentang keutamaan Ali, yang berlanjut pada pendapatnya tentang kekhalifahan beliau.

Kelemahan Ali di Mata Ibnu Timiyah:

Di sini akan disebutkan beberapa pendapat Ibnu Taimiyah dalam melihat kekurangan pada pribadi Ali:

Disebutkan dalam kitab Minhaj as-Sunnah karya Ibnu Taimiyah, bahwa Ibnu Taimiyah meremehkan kemampuan Ali bin Abi Thalib dalam permasalahan fikih (hukum agama). Ia mengatakan: “Ali memiliki banyak fatwa yang bertentangan dengan teks-teks agama (nash)”. Bahkan Ibnu Taimiyah dalam rangka menguatkan pendapatnya tersebut, ia tidak segan-segan untuk mengatasnamakan beberapa ulama Ahlusunnah yang disangkanya dapat sesuai dengan pernyataannya itu. Lantas dia mengatakan: “As-Syafi’i dan Muhammad bin Nasr al-Maruzi telah mengumpulkan dalam satu kitab besar berkaitan dengan hukum yang dipegang oleh kaum muslimin yang tidak diambil dari ungkapan Ali. Hal itu dikarenakan ungkapan sahabat-sahabat selainnya (Ali), lebih sesuai dengan al-Kitab (al-Quran) dan as-Sunnah”[6].

Berkenaan dengan ungkapan Ibnu Taimiyah yang menyatakan bahwa banyak ungkapan Ali yang bertentangan dengan nash (teks agama), hal itu sangatlah mengherankan, betapa tidak? Apakah mungkin orang yang disebut-sebut sebagai ‘syeikh Islam’ seperti Ibnu Taimiyah tidak mengetahui banyaknya hadis dan ungkapan para salaf saleh yang disebutkan dalam kitab-kitab standar Ahlusunnah sendiri perihal keutamaan Ali dari berbagai sisinya, termasuk sisi keilmuannya. Jika benar bahwa ia tidak tahu, maka layakkah gelar syeikh Islam tadi baginya? Padahal hadis-hadis tentang keutamaan Ali sebegitu banyak jumlahnya. Jika ia tahu, tetapi tetap bersikeras untuk menentangnya-padahal keutamaan Ali banyak tercantum dalam kitab-kitab standar Ahlusunnah yang memiliki sanad hadis yang begitu kuat sehingga tidak lagi dapat diingkarinya- maka terserah Anda untuk menyikapinya! Lantas, apa kira-kira maksud dibalik pengingkaran tersebut? Karena kebodohan Ibnu Taimiyah? Ataukah karena kebencian Ibnu Taimiyah atas Ali? Ataukah karena kedua-duanya? Bukankah Ali termasuk salah satu Ahlul Bait Nabi,[7] dimana sudah menjadi kesepakatan antara Sunnah-Syiah bahwa pembenci Ahlul-Bait Nabi dapat dikategorikan Nashibi atau Nawashib? Lantas manakah bukti bahwa Ibnu Taimiyah adalah pribadi yang getol menghidupkan kembali ajaran salaf saleh, sedang ungkapannya banyak bertentangan dengan ungkapan salaf saleh?

Sebagai contoh dapat disebutkan beberapa hadis yang membahas tentang keilmuan Ali sesuai dengan pengakuan para salaf saleh yang diakui sebagai panutan oleh Ibnu Taimiyah:

Sabda Rasulullah saw: “Telah kunikahkan engkau –wahai Fathimah- dengan sebaik-baik umatku yang paling tinggi dari sisi keilmuan dan paling utama dari sisi kebijakan…”.[8]

1. Sabda Rasulullah saw: “Ali adalah gerbang ilmuku dan penjelas bagi umatku atas segala hal yang karenanya aku diutus setelahku”.[9]


2. Sabda Rasulullah saw: “Hikmah (pengetahuan) terbagi menjadi sepuluh bagian, maka dianugerahkan kepada Ali sembilan bagian, sedang segenap manusia satu bagian (saja)”.[10]

3. Berkata ummulmukminin Aisyah: “Ali adalah pribadi yang paling mengetahui dari semua orang tentang as-Sunnah”.[11]

4. Berkata Umar bin Khattab: “Ya Allah, jangan Engkau biarkan aku dalam kesulitan tanpa putera Abi Thalib (di sisiku)”.[12]

5. Berkata Ibnu Abbas: “Demi Allah, telah dianugerahkan kepada Ali sembilan dari sepuluh bagian ilmu. Dan demi Allah, ia (Ali) telah ikut andil dari satu bagian yang kalian miliki”.[13] Dalam nukilan kitab lain ia berkata: “Tidaklah ilmuku dan ilmu para sahabat Muhammad saw sebanding dengan ilmu Ali, sebagaimana setetes air dibanding tujuh samudera”.[14]

6. Berkata Ibnu Mas’ud: “Sesungguhnya al-Quran turun dalam tujuh huruf. Tiada satupun dari huruf-huruf tadi kecuali didalamnya terdapat zahir dan batin. Dan sesungguhnya Ali bin Abi Thalib memiliki ilmu tentang zahir dan batin tersebut”.[15]

7. Berkata ‘Adi bin Hatim: “Demi Allah, jika dilihat dari sisi pengetahuan terhadap al-Quran dan as-Sunnah, maka dia –yaitu Ali- adalah pribadi yang paling mengetahui tentang dua hal tadi. Jika dari sisi keislamannya, maka ia adalah saudara Rasul dan memiliki senioritas dalam keislaman. Jika dari sisi kezuhudan dan ibadah, maka ia adalah pribadi yang paling nampak zuhud dan paling baik ibadahnya”.[16]

8. Berkata al-Hasan: “Telah meninggalkan kalian, pribadi yang kemarin tiada satupun dari pribadi terdahulu dan akan datang yang bisa mengalahi keilmuannya”.[17]
Dan masih banyak lagi hadis-hadis pengakuan Nabi beserta para sahabatnya yang menyatakan akan keluasan ilmu Ali dalam kitab-kitab standar Ahlusunnah.

Adapun tentang ungkapan Ibnu Taimiyah yang menukil pendapat orang lain perihal Ali tersebut merupakan kebohongan atas pribadi yang dinukil tadi. Karena maksud al-Maruzi yang menulis karya besar tadi, ialah dalam rangka mengumpulkan fatwa-fatwa Abu Hanifah –pendiri mazhab Hanafi- yang bertentangan dengan pendapat sahabat Ali dan Ibnu Mas’ud. Jadi topik utama pembahasan kitab tersebut adalah fatwa Abu Hanifah dan ungkapan sahabat, yang dalam hal ini berkaitan dengan Ali dan Ibnu Mas’ud. Tampak, betapa terburu-burunya Ibnu Taimiyah dalam membidik Ali dengan menukil pendapat orang lain, tanpa membaca lebih lanjut dan teliti tujuan penulisan buku tersebut. Ini merupakan salah satu contoh pengkhianatan Ibnu Taimiyah atas beberapa pemuka Ahlussunah.

Dalam kitab yang sama, Ibnu Taimiyah ternyata bukan hanya meragukan akan kemampuan Ali dari sisi keilmuan, bahkan ia juga mengingkari banyak hal yang berkaitan dengan keutamaan Ali.[18] Di sini akan disebutkan beberapa contoh ungkapan Ibnu Taimiyah perihal masalah tersebut:

1. Kebencian terhadap Ali: “Ungkapan yang menyatakan bahwa membenci Ali merupakan kekufuran, adalah sesuatu yang tidak diketahui (asalnya)”.[19]

2. Pengingkaran hadis Rasul: “Hadis ana madinatul ilmi (Aku adalah kota ilmu…) adalah tergolong hadis yang dibikin (maudhu’)”.[20]

3. Kemampuan Ali dalam memutuskan hukum: “Hadis “aqdhakum Ali” (paling baik dalam pemberian hukum diantara kalian adalah Ali) belum dapat ditetapkan (kebenarannya)”.[21]

4. Keilmuan Ali: “Pernyataan bahwa Ibnu Abbas adalah murid Ali, merupakan ungkapan batil”.[22] Sehingga dari pengingkaran itu ia kembali mengatakan: “Yang lebih terkenal adalah bahwa Ali telah belajar dari Abu Bakar”.[23]

5. Keadilan Ali: “Sebagian umatnya mengingkari keadilannya. Para kelompok Khawarij pun akhirnya mengkafirkannya. Sedang selain Khawarij, baik dari keluarganya maupun selain keluarganya mengatakan: ia tidak melakukan keadilan. Para pengikut Usman mengatakan: ia tergolong orang yang menzalimi Usman…secara global, tidak tampak keadilan pada diri Ali, padahal ia memiliki banyak tanggungjawab dalam penyebarannya, sebagaimana yang pernah terlihat pada (masa) Umar, dan tidak sedikitpun mendekati (apa yang telah dicapai oleh Umar)”.[24]

Dari pengingkaran-pengingkaran tersebut akhirnya Ibnu Taimiyah menyatakan: “Adapun Ali, banyak pihak dari pendahulu tidak mengikuti dan membaiatnya. Dan banyak dari sahabat dan tabi’in yang memeranginya”.[25]

Bisa dilihat, betapa Ibnu Taimiyah telah memiliki kesinisan tersendiri atas pribadi Ali sehingga membuat mata hatinya buta dan tidak lagi melihat hakikat kebenaran, walaupun hal itu bersumber dari syeikh yang menjadi panutannya, Ahmad bin Hambal. Padahal, imam Ahmad bin Hambal -sebagai pendiri mazhab Ahlul-Hadis yang diakui sebagai panutan Ibnu Taimiyah dari berbagai ajaran dan metode mazhabnya- juga beberapa imam ahli hadis lain –seperti Ismail al-Qodhi, an-Nasa’i, Abu Ali an-Naisaburi- telah mengatakan: “Tiada datang dengan menggunakan sanad yang terbaik berkaitan dengan pribadi satu sahabat pun, kecuali yang terbanyak berkaitan dengan pribadi Ali. Ali tetap bersama kebenaran, dan kebenaran bersamanya sebagaimana ia berada”.[26]

Dalam masalah kekhilafahan Ali, Ibnu Taimiyah pun dalam beberapa hal meragukan, dan bahkan melecehkannya. Di sini dapat disebutkan contoh dari ungkapan Ibnu Taimiyah tentang kekhalifahan Ali:

1. “Kekhilafahan Ali tidak menjadi rahmat bagi segenap kaum mukmin, tidak seperti (yang terjadi pada) kekhilafahan Abu Bakar dan Umar”.[27]

2. “Ali berperang (bertujuan) untuk ditaati dan untuk menguasai atas umat, juga (karena) harta. Lantas, bagaimana mungkin ia (Ali) menjadikan dasar peperangan tersebut untuk agama? Sedangkan jika ia menghendaki kemuliaan di dunia dan kerusakan (fasad), niscaya tiada akan menjadi pribadi yang mendapat kemuliaan di akherat”.[28]

3. “Adapun peperangan Jamal dan Shiffin telah dinyatakan bahwa, tiada nash dari Rasul.[29] Semua itu hanya didasari oleh pendapat pribadi. Sedangkan mayoritas sahabat tidak menyepakati peperangan itu. Peperangan itu, tidak lebih merupakan peperangan fitnah atas takwil. Peperangan itu tidak masuk kategori jihad yang diwajibkan, ataupun yang disunahkah. Peperangan yang menyebabkan terbunuhnya banyak pribadi muslim, para penegak shalat, pembayar zakar dan pelaksana puasa”.[30]

Untuk menjawab pernyataan Ibnu Taimiyah tadi, cukuplah dinukil pernyataan beberapa ulama Ahlusunnah saja, guna mempersingkat pembahasan.

Al-Manawi dalam kitab Faidh al-Qadir dalam menukil ungkapan al-Jurjani dan al-Qurthubi menyatakan: “Dalam kitab al-Imamah, al-Jurjani mengatakan: “Telah sepakat (ijma’) ulama ahli fikih (faqih) Hijaz dan Iraq, baik dari kelompok ahli hadis maupun ahli ra’yi semisal imam Malik, Syafi’i, Abu Hanifah dan Auza’i dan mayoritas para teolog (mutakallim) dan kaum muslimin, bahwa Ali dapat dibenarkan dalam peperangannya melawan pasukan (musuhnya dalam) perang jamal. Dan musuhnya (Ali) dapat dikelompokkan sebagai para penentang yang zalim”. Kemudian dalam menukil ungkapan al-Qurthubi, dia mengatakan: “Telah menjadi kejelasan bagi ulama Islam berdasar argumen-argumen agama, bahwa Ali adalah imam. Oleh karenanya, setiap pribadi yang keluar dari (kepemimpinan)-nya, niscaya dihukumi sebagai penentang yang berarti memeranginya adalah suatu kewajiban hingga mereka kembali kepada kebenaran, atau tertolong dengan melakukan perdamaian”.[31]

Jelas bahwa pernyataan Ibnu Taimiyah dengan mengatasnamakan salaf saleh tidaklah memiliki dasar sedikitpun, apalagi jika ia mengatasnamakan para imam mazhab Ahlusunnah. Lantas, bagaimana mungkin pribadi seperti Ibnu Taimiyah dapat mewakili pemikiran Ahlusunnah, padahal begitu banyak pandangan ulama Ahlusunnah sediri yang secara jelas bertentangan dengan pendapat Ibnu Taimiyah? Lebih-lebih pendapat Ibnu Taimiyah tadi hanya sebatas pengakuan saja, tanpa memberikan argumen maupun rujukan yang jelas, baik yang berkaitan dengan hadis (Rasul saw), maupun ungkapan para salaf saleh (dari sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in) termasuk nukilan pendapat para imam mazhab empat secara cermat, apalagi bukti ayat al-Quran.

Yang lebih parah lagi, setelah ia meragukan semua keutamaan Ali bin Abi Thalib, dari seluruh ungkapannya tersebut, akhirnya ia pun meragukan Ali sebagai khalifah. Hal itu merupakan konsekuensi dari semua pernyataan yang pernah ia lontarkan sebelumnya. Mengingat, dalam banyak kesempatan Ibnu Taimiyah selalu meragukan kemampuan Ali dalam memimpin umat. Oleh karenanya, dalam banyak kesempatan pula ia menyebarkan keragu-keraguan atas kekhilafan Ali. Tentu saja, metode yang dipakainya dalam masalah inipun sama sebagaimana yang ia terapkan sebelumnya -seperti yang telah disinggung di atas, yaitu; dengan cara menukil beberapa pendapat yang sangat tidak mendasar, dan tidak jujur sembari mengajukan pendapat pribadinya sebagai pendapat tokoh-tokoh salaf saleh.

Berikut ini adalah beberapa contoh dari ungkapan Ibnu Taimiyah dalam masalah tersebut:

1. “Diriwayatkan dari Syafi’i dan pribadi-pribadi selainnya, bahwa khalifah ada tiga; Abu Bakar, Umar dan Usman”.[32]

2. “Manusia telah bingung dalam masalah kekhilafan Ali (karena itu mereka berpecah atas) beberapa pendapat; Sebagian berpendapat bahwa ia (Ali) bukanlah imam, akan tetapi Muawiyah-lah yang menjadi imam. Sebagian lagi menyatakan, bahwa pada zaman itu tidak terdapat imam secara umum, bahkan zaman itu masuk kategori masa (zaman) fitnah”.[33]

3. “Dari mereka terdapat orang-orang yang diam (tidak mengakui) atas (kekhalifahan) Ali, dan tidak mengakuinya sebagai khalifah keempat. Hal itu dikarenakan umat tidak memberikan kesepakatan atasnya. Sedang di Andalus, banyak dari golongan Bani Umayyah yang mengatakan: Tidak ada khalifah. Sesungguhnya khalifah adalah yang mendapat kesepakatan (konsensus) umat manusia. Sedang mereka tidak memberi kesepakatan atas Ali. Sebagian lagi dari mereka menyatakan Muawiyah sebagai khalifah keempat dalam khutbah-khutbah jum’atnya. Jadi, selain mereka menyebutkan ketiga khalifah itu, mereka juga menyebut Muawiyah sebagai (khalifah) keempat, dan tidak menyebut Ali”.[34]

4. “Kita mengetahui bahwa sewaktu Ali memimpin, banyak dari umat manusia yang lebih memilih kepemimpinan Muawiyah, atau kepemimpinan selain keduanya (Ali dan Muawiyah)…maka mayoritas (umat) tidak sepakat dalam ketaatan”.[35]
Jelas sekali di sini bahwa Ibnu Taimiyah selain ia berusaha menyebarkan karaguan atas kekhalifah Ali bin Abi Thalib kepada segenap umat, ia pun menjadi corong dalam menyebarkan kekhalifahan Muawiyah bin Abu Sufyan. Sedang hal itu jelas-jelas bertentangan dengan akidah Ahlusunnah wal Jama’ah.

Untuk menjawab pernyataan-pernyataan Ibnu Taimiyah di atas tadi, mari kita simak beberapa pernyataan pembesar ulama Ahlusunnah tentang kekhilafahan Ali bin Abi Thalib, dan ungkapan mereka perihal Muawiyah bin Abu Sufyan, termasuk yang bersumber dari kitab-kitab karya imam Ahmad bin Hambal yang diakui sebagai panutan Ibnu Taimiyah dalam pola pikir dan metode (manhaj)-nya.

1. Dinukil dari imam Ahmad bin Hambal: “Barangsiapa yang tidak mengakui Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat, maka jangan kalian ajak bicara, dan jangan adakan tali pernikahan dengannya”.[36]

2. Dikatakan bahwa imam Ahmad bin Hambal pernah mengatakan: “Barangsiapa yang tidak menetapkan imamah (kepemimpinan) Ali, maka ia lebih sesat dari Keledai. Adakah Ali dalam menegakkan hukum, mengumpulkan sedekah dan membagikannya tanpa didasari hak? Aku berlindung kepada Allah dari ungkapan semacam ini…akan tetapi ia (Ali) adalah khalifah yang diridhai oleh para sahabat Rasul. Mereka melaksanakan shalat dibelakangnya. Mereka berperang bersamanya. Mereka berjihad dan berhaji bersamanya. Mereka menyebutnya sebagai amirulmukminin. Mereka ridha dan tiada mengingkarinya. Maka kami pun mengikuti mereka”.[37]

3. Dalam kesempatan lain, sewaktu putera imam Ahmad bin Hambal menanyakan kepada ayahnya perihal beberapa orang yang mengingkari kekhalifahan Ali, beliau (imam Ahmad) berkata: “Itu merupakan ungkapan buruk yang hina”[38].

4. Dari Abi Qais al-Audi yang berkata: “Aku melihat umat manusia di mana mereka terdapat tiga tahapan; Para pemilik agama, mereka mencintai Ali. Sedang para pemilik dunia, mereka mencintai Muawiyah, dan Khawarij”.[39]

Adapun riwayat-riwayat yang berkaitan dengan keutamaan Ali terlampau banyak untuk disampaikan di sini. Untuk mempersingkat pembahasan, kita nukil beberapa contoh riwayat yang khusus berkaitan dengan keilmuan dan kekhilafan Ali dari kitab-kitab standar Ahlusunnah wal Jamaah:

1. Dalam kitab Mustadrak as-Shahihain karya al-Hakim an-Naisaburi dijelaskan dari Hayyan al-Asadi; aku mendengar Ali berkata: Rasul bersabda kepadaku: “Sesungguhnya umat akan meninggalkanmu setelahku (sepeninggalku), sedang engkau hidup di atas ajaranku. Engkau akan terbunuh karena (membela) sunahku. Barangsiapa yang mencintaimu, maka ia telah mencintaiku. Dan barangsiapa yang memusuhimu, maka ia telah memusuhiku. Dan ini akan terwarnai hingga ini (yaitu janggut dari kepalanya)”.[40]

2. Dalam Shahih at-Turmudzi yang diriwayatkan oleh Abi Sa’id, ia berkata: “Kami (kaum Anshar) tiada mengetahui orang-orang munafik kecuali melalui kebencian mereka terhadap Ali bin Abi Thalib”.[41]

3. Dalam kitab Mustadrak as-Shahihain yang diriwayatkan dari Zaid bin Arqam yang menyebutkan; Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang menginginkan hidup sebagaimana kehidupanku, dan mati sebagaimana kematianku, dan menempati sorga yang kekal yang telah dijanjikan oleh Tuhanku kepadaku, maka hendaknya ia menjadikan Ali sebagai wali (pemimpin/kecintaan). Karena ia tiada akan pernah mengeluarkan kalian dari petunjuk, dan tiada akan menjerumuskan kalian kepada kesesatan”.[42]

4. Dalam kitab Tarikh al-Baghdadi diriwaytkan dari Ibnu Abbas, ia berkata; Rasul bersabda: “Di malam sewaktu aku mi’raj ke langit, aku melihat di pintu sorga tertulis: Tiada tuhan melainkan Allah, Muhammad Rasul Allah, Ali kecintaan Allah, al-Hasan dan al-Husein pilihan Allah, Fathimah pujian Allah, atas pembenci mereka laknat Allah”.[43]

5. Juga dalam kitab Tarikh al-Baghdadi disebutkan sebuah hadis tentang penjelmaan Iblis untuk menggoda Rasul beserta para sahabat sewaktu bertawaf di Ka’bah. Setelah Iblis itu sirna, Rasul bersabda kepada Ali: “Apa yang aku dan engkau miliki wahai putera Abu Thalib. Demi Allah, tiada seseorang yang membencimu kecuali ia (Iblis) telah campur tangan dalam pembentukannya (melalui sperma ayahnya .red).” Lantas Rasul membacakan ayat (64 dari surat al-Isra’): “Wa Syarikhum fil Amwal wal Awlad” (Dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak)”.[44]

6. Dalam kitab Mustadrak as-Shahihain disebutkan, diriwayatkan dari Mujahid dari Ibnu Abbas, ia berkata; Rasul bersabda: “Aku adalah kota hikmah, sedang Ali adalah pintunya. Barangsiapa yang menghendaki hikmah hendaknya melalui pintunya”.[45] Dalam riwayat lain disebutkan: “Aku adalah kota ilmu, sedang Ali adalah pintunya. Barangsiapa yang menghendaki ilmu hendaknya melalui pintunya”.[46]

7. Dalam kitab Mustadrak as-Shahihain disebutkan, diriwayatkan dari al-Hasan dari Anas bin Malik, ia berkata; Nabi bersabda kepada Ali: “Engkau (Ali) penjelas (atas permasalahan) yang menjadi perselisihan di antara umatku setelahku”.[47]

8. Dalam kitab as-Showa’iq al-Muhriqah karya Ibnu Hajar disebutkan, sewaktu Rasul sakit lantas beliau mewasiatkan kepada para sahabatnya, seraya bersabda: “Aku meninggalkan kepada kalian Kitab Allah (al-Quran) dan Itrah (keturunan)-ku dari Ahlul Baitku”. Kemudian beliau mengangkat tangan Ali seraya bersabda: “Inilah Ali bersama al-Quran, dan al-Quran bersama Ali. Keduanya tiada akan berpisah sehingga pertemuanku di al-Haudh (akherat) kelak, maka carilah kedua hal tersebut sebagaimana aku telah meninggalkannya”.[48] Dalam hadis lain disebutkan: “Ali bersama kebenaran dan kebenaran bersama Ali. Keduanya tiada akan pernah berpisah hingga pertemuanku di Haudh kelak di akherat”.[49]

9. Dalam kitab Usud al-Ghabah karya Ibnu Atsir disebutkan, diriwayatkan dari Abi Sa’id al-Khudri, ia berkata; Rasul memerintahkan kami untuk memerangi kelompok Nakitsin (Jamal), Qosithin (Shiffin) dan Mariqin (Nahrawan). Lantas kami berkata: “Wahai Rasulullah, engkau memerintahkan kami memerangi mereka, lantas bersama siapakah kami?”, beliau bersabda: “Bersama Ali bin Abi Thalib, bersamanya akan terbunuh (pula) Ammar bin Yasir”.[50]

Pernyataan Resmi Ahlusunnah Perihal Kekhalifahan Ali:

Lihat, bagaimana Ibnu Taimiyah tidak menyinggung nama Ali dalam masalah kekhalifahan? Dan bagaimana ia berdusta atas nama imam Syafi’i tanpa memberikan dasar argumen yang jelas? Ibnu Taimiyah bukan hanya mengingkari Ali, tetapi bahkan memberikan kemungkinan kekhalifahan buat Muawiyah. Padahal tidak ada kelompok Ahlusunnah pun yang meragukan kekhalifahan Ali. Berikut ini akan kita perhatikan pernyataan resmi beberapa ulama Ahlussunah perihal pandangan mazhab mereka berkaitan dengan kekhalifahan Ali bin Abi Thalib:

1. Dari Abbas ad-Dauri, dari Yahya bin Mu’in, ia mengatakan: “Sebaik-baik umat setelah Rasulullah adalah Abu Bakar dan Umar, kemudian Usman, lantas Ali. Ini adalah mazhab kami, juga pendapat para imam kami. Sedang Yahya bin Mu’in berpendapat: Abu Bakar, Umar, Ali dan Usman”.[51]

2. Dari Harun bin Ishaq, dari Yahya bin Mu’in: “Barangsiapa yang menyatakan Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali (Radhiyallahu anhum) –dan mengakui Ali sebagai pemilik keutamaan, maka ia adalah pemegang as-Sunnah (Shahib as-Sunnah)…lantas kusebutkan baginya oknum-oknum yang hanya menyatakan Abu Bakar, Umar dan Usman, kemudian ia diam (tanpa menyebut Ali .red), lantas ia mengutuk (oknum tadi) mereka dengan ungkapan yang keras”.[52]

3. Berkata Abu Umar –Ibnu Abdul Bar- perihal seseorang yang berpendapat sebagaimana hadis dari Ibnu Umar: “Dahulu, pada zaman Rasul, kita mengatakan: Abu Bakar, kemudian Umar, lantas Usman, lalu kami diam –tanpa melanjutkannya)”. Itulah yang diingkari oleh Ibnu Mu’in dan mengutuknya dengan ungkapan kasar. Karena yang menyatakan hal itu berarti telah bertentangan dengan apa yang telah disepakati oleh Ahlussunah, baik mereka dari pendahulu (as-Salaf), maupun dari yang datang terakhir (al-Khalaf) dari para ulama fikih dan hadis. Sudah menjadi kesepakatan (Ahlussunah) bahwa Ali adalah paling mulianya manusia, setelah Usman. Namun, mereka berselisih pendapat tentang, siapakah yang lebih utama, Ali atau Usman? Para ulama terdahulu (as-Salaf) juga telah berselisih pendapat tentang keutamaan Ali atas Abu Bakar. Namun, telah menjadi kesepakatan bagi semuanya bahwa, sebagaimana yang telah kita sebutkan, semua itu telah menjadi bukti bahwa hadis Ibnu Umar memiliki kesamaran dan kesalahan, dan tidak bisa diartikan semacam itu, walaupun dari sisi sanadnya dapat dibenarkan”.[53]

Jadi jelaslah bahwa menurut para pemuka Ahlussunah, Ali adalah sahabat terkemuka yang termasuk jajaran tokoh para sahabat yang menjadi salah satu khalifah pasca Rasul. Berbeda halnya dengan apa yang diyakini oleh Ibnu Taimiyah, seorang ulama generasi akhir (khalaf) yang mengaku sebagai penghidup pendapat ulama terdahulu (salaf), namun banyak pendapatnya justru berseberangan dengan pendapat salaf saleh.

Pernyataan Ulama Ahlusunnah Perihal Pandangan Ibnu Taimiyah Tentang Ali:

Pada bagian kali ini akan kita nukil beberapa pernyataan ulama Ahlusunnah perihal pernyataan Ibnu Taimiyah yang cenderung melecehkan Ali bin Abi Thalib:

1. Ibnu Hajar al-Asqalani dalam menjelaskan tentang pribadi Ibnu Taimiyah mengatakan: “Ia terlalu berlebihan dalam menghinakan pendapat rafidhi (Allamah al-Hilli seorang ulama Syiah. red) sehingga terjerumus kedalam penghinaan terhadap pribadi Ali”.[54]

2. Allamah Zahid al-Kautsari mengatakan: “…dari beberapa ungkapannya dapat dengan jelas dilihat kesan-kesan kebencian terhadap Ali”.[55]

3. Syeikh Abdullah Ghumari pernah menyatakan: “Para ulama yang sezaman dengannya menyebutnya (Ibnu Taimiyah) sebagai seorang yang munafik dikarenakan penyimpangannya atas pribadi Ali”.[56]

4. Syeikh Abdullah al-Habsyi berkata: “Ibnu Taimiyah sering melecehkan Ali bin Abi Thalib dengan mengatakan: Peperangan yang sering dilakukannya (Ali) sangat merugikan kaum muslimin”.[57]

5. Hasan bin Farhan al-Maliki menyatakan: “Dalam diri Ibnu Taimiyah terdapat jiwa ¬nashibi dan permusuhan terhadap Ali”.[58]

6. Hasan bin Ali as-Saqqaf berkata: “Ibnu Taimiyah adalah seorang yang disebut oleh beberapa kalangan sebagai ‘syeikh Islam’, dan segala ungkapannya dijadikan argumen oleh kelompok tersebut (Salafy). Padahal, ia adalah seorang nashibi yang memusuhi Ali dan menyatakan bahwa Fathimah (puteri Rasulullah. red) adalah seorang munafik”.[59]

Dan masih banyak lagi ungkapan ulama Ahlusunnah lain yang menyesalkan atas prilaku pribadi yang terlanjur terkenal dengan sebutan ‘syeikh Islam’ itu. Untuk mempersingkat pembahasan, dalam makalah ini kita cukupkan beberapa ungkapan mereka saja. Namun di sini juga akan dinukil pengakuan salah seorang ahli hadis dari kalangan wahabi (pengikut Ibnu Taimiyah sendiri .red) sendiri dalam mengungkapkan kebingungannya atas prilaku imamnya (Ibnu Taimiyah) yang meragukan beberapa hadis keutamaan Ali bin Abi Thalib. Ahli hadis tersebut bernama Nashiruddin al-Bani. Tentu semua pengikut Salafy (Wahabi) mengenal siapa dia. Seusai ia menganalisa hadis al-wilayah[60] (kepemimpinan) yang berkaitan dengan Ali bin Abi Thalib, lantas ia mengatakan: “Anehnya, bagaimana mungkin syeikh Islam Ibnu Taimiyah mengingkari hadis ini, sebagaimana yang telah dia lakukan pada hadis-hadis sebelumnya (tentang Ali), padahal ia memiliki berbagai sanad yang sahih. Hal ini ia lakukan, tidak lain karena kebencian yang berlebihan terhadap kelompok Syiah”.[61]

Dari sini jelas bahwa akibat kebencian terhadap satu kelompok secara berlebihan menyebabkan Ibnu Taimiyah terjerumus ke dalam lembah kemungkaran dan kesesatan, sehingga menyebabkan ia telah menyimpang dari ajaran para salaf saleh yang selalu diakuinya sebagai pondasi ajarannya. Bukankah orang yang disebut ‘syeikh Islam’ itu mesti telah membaca hadis yang tercantum dalam Shahih Muslim –kitab yang diakuinya sebagai paling shahihnya kitab- yang menyatakan: “Aku bersumpah atas Dzat Yang menumbuhkan biji-bijian dan Pencipta semesta, Rasul telah berjanji kepadaku (Ali); Tiada yang mencintaiku melainkan seorang mukmin, dan tiada yang membenciku melainkan orang munafik”.[62] Sedang dalam hadis lain, diriwayatkan dari ummulmukminin Ummu Salamah: “Seorang munafik tiada akan mencintai Ali, dan seorang mukmin tiada akan pernah memusuhinya”.[63] Dan dari Abu Said al-Khudri yang mengatakan: “Kami dari kaum Anshar dapat mengenali para munafik melalui kebencian mereka terhadap Ali”.[64]

Jika sebagian ulama Ahlusunnah telah menyatakan, akibat kebencian Ibnu Taimiyah terhadap Ali dengan ungkapan-ungkapannya yang cenderung melecehkan sahabat besar tersebut sehingga ia disebut nashibi, lantas jika dikaitkan dengan tiga hadis di atas tadi yang menyatakan bahwa kebencian terhadap Ali adalah bukti kemunafikan, maka apakah layak bagi seorang munafik yang nashibi digelari ‘Syeikh al-Islam’? ataukah pribadi semacam itu justru lebih layak jika disebut sebagai ‘Syeikh al-Munafikin’? Jawabnya, tergantung pada cara kita dalam mengambil benang merah dari konsekuensi antara ungkapan beberapa ungkapan ulama Ahlusunnah dan beberapa hadis yang telah disebutkan di atas tadi.

Penutup:

Dari sini jelaslah, bahwa para ulama Salaf maupun Khalaf -dari Ahlussunah wal Jamaah- telah mengakui keutamaan Ali, dan mengakui kekhalifahannya. Lantas dari manakah manusia semacam Ibnu Taimiyah yang mengaku sebagai penghidup mazhab salaf saleh namun tidak menyinggung-nyinggung kekhalifahan Ali, bahkan berusaha menghapus Ali dari jajaran kekhilafahan Rasul? Masih layakkah manusia seperti Ibnu Taimiyah dinyatakan sebagai pengikut Ahlusunnah wal Jama’ah, sementara pendapatnya banyak bertentangan dengan kesepakatan ulama salaf maupun khalaf dari Ahlussunah wal Jamaah? Ataukah dia hanya mengaku dan membajak nama besar salaf saleh? Tegasnya, pandangan-pandangan Ibnu Taimiyyah tadi justru lebih layak untuk mewakili kelompok salaf yang dinyatakan oleh kaum muslimin sebagai salaf thaleh (lawan dari kata salaf saleh), seperti Yazid bin Muawiyah beserta gerombolannya.

Tetapi anehnya, para pengikut Ibnu Taimiyah yang juga ikut-ikutan mengatasnamakan dirinya “penghidup ajaran Salaf” (Salafy/Wahaby), masih terus bersikeras untuk diakui sebagai pengikut Ahlussunah, padahal di sisi lain, mereka masih terus menjunjung tinggi ajaran dan doktrin Ibnu Taimiyah yang jelas-jelas telah keluar dari kesepakatan (konsensus) ulama Ahlussunah beserta "ajaran resmi" Ahlussunah wal Jamaah. Mereka berpikir, jalan pintas yang paling aman dan mudah untuk mendapat pengakuan itu adalah dengan memusuhi Syiah. Mengangkat isu-isu ikhtilaf Sunnah-Syiah adalah sarana paling efektif untuk menempatkan kaum Salafy supaya diterima dalam lingkaran Ahlussunnah. Sehingga mereka pun berusaha sekuat tenaga agar semua usaha pendekatan, pintu dialog ataupun persatuan antara Sunnah-Syiah harus ditentang, ditutup dan digagalkan. Karena, jika antara Sunnah-Syiah bersatu, maka kedok mereka akan tersingkap, dan hal itu akan mengakibatkan nasib mereka kian tidak menentu.[]


Penulis: Mahasiswa S2 Jurusan Perbandingan Agama dan Mazhab di Universitas Imam Khomeini, Qom-Republik Islam Iran,


Rujukan:
________________________________________

[2] Dalam kitab Mustadrak as-Shohihain Jil:3 Hal:483 karya Hakim an-Naisaburi atau kitab Nuur al-Abshar Hal:69 karya as-Syablanji disebutkan, bahwa Ali adalah satu-satunya orang yang dilahirkan dalam Baitullah Ka’bah. Maryam ketika hendak melahirkan Isa al-Masih, ia diperintahkan oleh Allah untuk menjauhi tempat ibadah, sedang Fatimah binti Asad ketika hendak melahirkan Ali, justru diperintahkan masuk ke tempat ibadah, Baitullah Ka’bah. Ini merupakan bukti, bahwa Ali memiliki kemuliaan tersendiri di mata Allah. Oleh karenanya, dalam hadis yang dinukil oleh Ibnu Atsir dalam kitab Usud al-Ghabah Jil:4 Hal:31 dinyatakan, Rasul bersabda: “Engkau (Ali) sebagaimana Ka’bah, didatangi dan tidak mendatangi”.

[3] Pembunuh Ali, Abdurrahman bin Muljam al-Muradi, dalam banyak kitab disebutkan sebagai paling celakanya manusia di muka bumi. Lihat kitab-kitab semisal Thobaqoot Jil:3 Hal:21 karya Ibnu Sa’ad, Tarikh al-Baghdadi Jil:1 Hal:135, Usud al-Ghabah Jil:4 Hal:24 karya Ibnu Atsir, Qoshos al-Ambiya’ Hal:100 karya ats-Tsa’labi.

[4] Dalam kitab Fathul-Bari disebutkan bahwa pribadi-pribadi seperti imam Ahmad bin Hambal, imam Nasa’i, imam an-Naisaburi dan sebagainya mengakui bahwa hadis-hadis tentang keutamaan Ali lebih banyak dibanding dengan keutamaan para sahabat lainnya.

[5] Lihat Tarikh at-Tabari Jil:2 Hal:62

[6] Minhaj as-Sunnah Jil:8 Hal:281, karya Ibnu Taimiyah al-Harrani

[7] Lihat Shohih Muslim Kitab: Fadho’il as-Shohabah Bab:Fadhoil Ahlul Bait an-Nabi, Shohih at-Turmudzi Jil:2 Hal:209/319, Tafsir ad-Dur al-Mantsur karya as-Suyuthi dalam menafsirakan surat 33:33 Jil:5 Hal:198-199, Musnad Ahmad bin Hambal Jil:1 Hal:330 atau Jil:6 Hal:292, Usud al-Ghabah karya Ibnu al-Atsir Jil:2 Hal:20 atau Jil:3 Hal:413, Tarikh al-Baghdadi Jil:10 Hal:278…dsb

[8] Jamii’ al-Jawami’ Jil:6 Hal:398, karya as-Suyuthi

[9] Kanz al-Ummal Jil:6 Hal:156, karya al-Muttaqi al-Hindi

[10] Hilliyah al-Auliya’ Jil:1 Hal:65, karya Abu Na’im al-Ishbahani

[11] al-Istii’ab Jil:3 Hal:40, karya al-Qurthubi, atau Tarikh al-Khulafa’ Hal:115 karya as-Suyuthi

[12] Tadzkirah al-Khawash Hal:87, karya Sibth Ibn al-Jauzi

[13] al-Istii’ab Jil:3 Hal:40

[14] Al-Ishobah Jil:2 Hal:509, karya Ibnu Hajar al-Asqolani, atau Hilliyah al-Auliya’ Jil:1 Hal:65

[15] Miftah as-Sa’adah, Jil:1 Hal:400

[16] Siar A’lam an-Nubala’ (khulafa’) Hal:239, karya adz-Dzahabi

[17] Al-Bidayah wa an-Nihayah Jil:7 Hal:332

[18] Minhaj as-Sunnah Jil:7 Hal:511 & 461

[19] Ibid Jil:8 Hal:97

[20] Ibid Jil:7 Hal:515

[21] Ibid Jil:7 Hal:512

[22] Ibid Jil:7 Hal: 535

[23] Ibid Jil:5 Hal:513

[24] Ibid Jil:6 Hal:18

[25] Ibid Jil:8 Hal:234

[26] Dinukil dari Fathul Bari Jil:7 Hal:89 karya Ibnu Hajar al-Asqolani, Tarikh Ibnu Asakir Jil:3 Hal:83, Siar A’lam an-Nubala’ (al-Khulafa’) Hal:239

[27] Minhaj as-Sunnah Jil:4 Hal:485

[28] Ibid Jil:8 Hal:329 atau Jil:4 Hal:500

[29] Pernyataan aneh yang terlontar dari Ibnu Taimiyah. Apakah dia tidak pernah menelaah hadis yang tercantum dalam kitab Mustadrak as-Shahihain Jil:3 Hal:139 dimana Abu Ayub berkata pada waktu kekhilafahan Umar bin Khatab dengan ungkapan; “Rasulullah telah memerintahkan Ali bin Abi Thalib untuk memerangi kaum Nakitsin (Jamal), Qosithin (Shiffin) dan Mariqin (Nahrawan)”. Begitu pula yang tercantum dalam kitabTarikh al-Baghdadi Jil:8 Hal:340, Usud al-Ghabah karya Ibnu Atsir Jil:4 Hal:32, Majma’ az-Zawa’id karya al-Haitsami Jil:9 Hal:235, ad-Dur al-Mantsur karya as-Suyuthi dalam menafsirkan ayat ke-41 dari surat az-Zukhruf, dsb? Ataukah Ibnu Taimiyah sudah tidak percaya lagi kepada para sahabat yang merawikan hadis tersebut? Bukankah ia telah terlanjur menyatakan bahwa sahabat adalah Salaf Saleh yang ajarannya hendak ia tegakkan?

[30] Ibid Jil:6 Hal:356

[31] Faidh al-Qodir Jil:6 Hal:336

[32] Minhaj as-Sunnah Jil:2 Hal:404

[33] Ibid Jil:1 Hal:537

[34] Ibid Jil:6 Hal:419

[35] Ibid Jil:4 Hal:682

[36] Thobaqoot al-Hanabilah Jil:1 Hal:45

[37] Aimmah al-Fiqh at-Tis’ah Hal:8

[38] As-Sunnatu Halal Hal:235

[39] Al-Isti’aab Jil:3 Hal:213

[40] Mustadrak as-Shahihain Jil:3 Hal:142. Hadis serupa –dengan sedikit perbedaan redaksi- juga dapat ditemukan dalam kitab-kitab lain semisal; Tarikh al-Baghdadi Jil:13 Hal:32, Usud al-Ghabah Jil:4 Hal:383, Majma’ az-Zawa’id Jil:9 Hal:131, ar-Riyadh an-Nadhrah Jil:2 Hal:213, dsb.

[41] Shahih at-Turmudzi Jil:2 Hal:299. Hadis serupa –dengan sedikit perbedaan redaksi- juga dapat ditemukan dalam kitab-kitab semisal; Shahih Muslim kitab al-Iman, Shahih an-Nasa’I Jil:2 Hal:271, Musnad Ahmad bin Hambal Jil:1 Hal:84, Mustadrak as-Shahihain Jil:3 Hal:129, Tarikh al-Baghdadi Jil:3 Hal:153, Majma’ az-Zawa’id Jil:9 Hal:133, dsb.
[42] Mustadrak as-Shahihain Jil:3 Hal:128. Hadis semacam ini –walau dengan sedikit perbedaan redaksi- juga dapat ditemukan dalam kitab-kitab semisal; Usud al-Ghabah Jil:4 Hal:23 atau Jil:6 Hal:101, al-Ishabah karya Ibnu Hajar Jil:3 Bagian ke-1 Hal:20, ar-Riyadh an-Nadhrah Jil:2 Hal:215, Tarikh al-Baghdadi Jil:4 Hal:102, dsb.

[43] Tarikh al-Baghdadi Jil:1 Hal:259.

[44] Ibid Jil:3 Hal:289-290

[45] Mustadrak as-Shahihain Jil:11 Hal:204. Hadis yang sama dengan sedikit perbedaan redaksi juga dapat ditemukan dalam Shahih at-Turmudzi Jil:2 Hal:229.

[46] Ibid Jil:3 Hal:128. Hadis yang sama dapat juga ditemukan dalam kitab lain semacam; as-Showa’iq al-Muhriqah karya Ibnu Hajar Hal:73, Tarikh al-Baghdadi Jil:2 Hal:377, ar-Riyadh an-Nadhrah Jil:2 Hal:193, Kunuz al-Haqa’iq karya al-Manawi Hal:43, dsb.

[47] Ibdi Jil:3 Hal:122. Hadis serupa juga dapat ditemukan dalam kitab Hilliyat al-Auliya’ karya Abu Na’im Jil:1 Hal:63.

[48] As-Showa’iq al-Muhriqoh Hal:75. Hadis semacam ini dapat pula dilihat dalam kitab-kitab semisal Mustadrak as-Shahihain Jil:3 Hal:124, Majma’ az-Zawa’id Jil:9 Hal:134, dsb.

[49] Tarikh al-Baghdadi Jil:14 Hal:321. Hadis serupa juga dapat dijumpai dalam kitab Shahih at-Turmudzi Jil:2 Hal:298, Mustadrak as-Shahihain Jil:3 Hal:119, Majma’ az-Zawa’id Jil:7 Hal:235, Kanzul Ummal karya al-Muttaqi al-Hindi Jil:6 Hal:157, dsb dengan sedikit perbedaan redaksi.

[50] Usud al-Ghabah Jil:4 Hal:32-33. Hadis serupa juga dapat ditemukan dalam kitab-kitab lain seperti; Mustadrak as-Shahihain Jil:4 Hal:139, Tarikh Baghdadi Jil:8 Hal:340 atau Jil:13 Hal:186, Majma’ az-Zawa’id Jil:9 Hal:235, Tafsir ad-Dur al-Mantsur karya as-Suyuthi dalam menafsirkan ayat 41 dari surat az-Zukhruf, dsb.

[51] Al-Isti’aab Jil:3 Hal:213

[52] Ibid

[53] Ibid Jil:3 Hal:214

[54] Lisan al-Mizan Jil:6 Hal:319-320

[55] Al-Hawi fi Sirah at-Thahawi Hal:26

[56] Ar-Rasail al-Ghomariyah Hal:120-121

[57] Al-Maqolaat as-Saniyah Hal:200

[58] Dinukil dari kitab Nahwa Inqod at-Tarikh al-Islami karya Sulaiman bin Shaleh al-Khurasyi hal:35

[59] At-Tanbih wa ar-Rad Hal:7

[60] Hadis yang mengatakan: Ali waliyu kulli mukmin min ba’dy (Ali adalah pemimpin setiap mukmin setelahku)

[61] Silsilah al-Ahadis as-Shohihah, Hadis no: 2223

[62] Shohih Muslim Jil:1 Hal:120 Hadis ke-131 Kitab: al-Iman, atau Shohih at-Turmudzi Jil:5 Hal:601

Hadis ke-3736, dan atau Sunan Ibnu Majah Jil:1 Hal:42 Hadis ke-114

[63] Shohih at-Turmudzi Jil:5 Hal:594 Hadis ke-3717

[64] Ibid Hal:593

Sabtu, 09 Januari 2010

Ayat-ayat Keutamaan Imam Ali Dalam Alquran

“Allah menganugerahkan Al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar Telah dianugerahi karunia yang banyak. dan Hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)”.(Al baqarah ayat 269)



Ayat-ayat Keutamaan Imam Ali Dalam Alquran

Pernah kita bertanya pada diri kita sendiri siapakah Imam Ali (as) tersebut? Sebagian kelompok sangat mencintai beliau secara berlebihan sehingga mereka mengatakan bahwa Ali adalah Tuhan (Aliyullah), sebagian kelompok lain mereka sangat membenci beliau sehingga mereka mewajibkan untuk melaknatnya. Sebagian lagi hanya mengakui bahwa Imam Ali hanyalah sebagai khalifah yang ke empat setelah Usman, dan kita orang-orang syiah mengakui bahwa beliau adalah Imam dan pemimpin setelah Rasullulah (saw). Apakah yang ada dalam wujud beliau sehingga semua itu tejadi, dan pernahkah kita (orang syiah) meneliti tentang keutamaan beliau dalam Al-Quran. Telah diutarakan dalam Al-Quran bahwa ada 9 ayat dan 1 surah tentang keutamaan Imam Ali (as). Dan perinciannya sebagai berikut:

1.Ayat tabliq

“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia”. (Al-maidah ayat 67)

Kebanyakan orang-orang ahli sunnah mengatakan bahwa ayat ini mengutarakan tentang Ghadir Khum dan Imam Ali (as). Dan masalah telah diutarakan dalam tafsir Kabir Fahr Razi, Addurrul Mantsur Suyuti, dan tafsir Al-Mannar Syekh Muhammad Abduh. Dan hadist ini dinukil oleh 20000 orang dan 5000 periwayat.

2. Ayat Wilayah.
“Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah)”.( Al maidah ayat 55)

Ayat ini mennjelaskan tentang Imam Ali (as) dan masalah ini tercantum dalam banyak buku tafsir ahli sunnah seperti Kassyaf milik Zamakhsyari, tafsir Kabir milik Fahrur Razi, dan dalam buku tafsir Addarul Mansur milik Sayuti.Sebagian orang mengatakan bahwa sebenarnya ayat ini untuk satu kelompok bukan untuk satu orang berarti bukan untuk Imam Ali (as) (Yuqimun-Roqiun) tetapi anehnya mereka sendiri menjawab bahwa, contoh-contoh seperti ini banyak dalam Al-Quran yang isim dhomirnya jamak’(kata gantinya menunjukkan arti banyak) tetapi dikhususkan untuk satu orang seperti ayat mubahalah (Anfusana, wa Anfusakum).

3. Ayat Keluarga (Al-Qurba)
“Itulah (karunia) yang (dengan itu) Allah menggembirakan hamba- hamba-Nya yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh. Katakanlah: “Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upahpun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan”. dan siapa yang mengerjakan kebaikan akan kami tambahkan baginya kebaikan pada kebaikannya itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri”. (Asy Syuura Ayat 23)

Suyuti dalam tafsir Addurrul Mantsur mengenai ayat ini, beliau menukil dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah (saw) mengenai para imam bersabda: “Jagalah hakku mengenai keluargaku dan cintailah mereka”

4.Ayat Al-Mubahalah

“Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), Maka Katakanlah (kepadanya): “Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu; Kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya la’nat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta”. (Al Imran ayat 61)

Para ulama ahli sunnah mengatakan bahwa maksud dari abna ana adalah untuk Imam Hasan (as) dan Imam Husein (as), dan nisa ana adalah untuk putri Rasul Fatimah Az-Zahra (sa) dan anfusana adalah Imam Ali (as). Dan di dalam ayat ini ditabirkan bahwa Imam Ali adalah jiwa Rasulullah. Dan tidak ada perbedaan anatara Imam Ali dan Rasulullah dari segi maknawi bukan dari segi syariat.[1]

5.Ayat peringatan (Al-Inzar)

Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat,( Asy syuara 214)

Dalam kitab Syawahid Al-Tanzil mengenai ayat ini dijelaskan bahwa: Ketika telah dipastikan bahwa dakwah Rasulullah harus disampaikan secara terang-terangan beliau bersabda: Seseorang yang berkehendak menjadi saudaraku, wakilku dan khalifah setelah aku, dan menerima risalahku menolongku dalam mengemban tugas ini, maka dia adalah pengganti dan washiku, Rasul sebanyak tiga kali mengulang perkataan ini, dan Ali (as) menerimanya.Thabari dalam kitab Tarikhnya berkata bahwa: setelah Ali menerima apa yang diutarakan Rasulullah, beliau (saw) bersabda: Ini adalah saudaraku, wakilku dan khalifahku untuk kalian maka dengarkanlah apa yang ia katakana dan taatilah…….

6. Ayat Al-Hikmah
“Allah menganugerahkan Al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar Telah dianugerahi karunia yang banyak. dan Hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)”.(Al baqarah ayat 269)

Mengenai ayat diatas telah dinukil dari Ibnu Abbas yang tercantum dalam kitab Syawahid Al-Tanzil bahwa: “Tidak pernah aku lihat ada seorang yang berani memprotes atas hukum dan pendapat yang dikeluarkan Ali (as), sebab Allah (swt) menurunkan ayat ini berkenaan dengan Ali (as). Hikmah dan pengetahuan telah dibagi menjadi 10 bagian, 9 bagiannya telah di berikan kepada Ali (as) , dan satu bagiannya lagi diberikan untuk seluruh manusia .”

7.Ayat Orang-orang Munafik (Munaafiquun)

“Dan kalau kami kehendaki, niscaya kami tunjukkan mereka kepadamu sehingga kamu benar-benar dapat mengenal mereka dengan tanda-tandanya. dan kamu benar-benar akan mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka dan Allah mengetahui perbuatan-perbuatan kamu”.( Muhammad ayat 30)Telah dinukil sebuah riwayat dari Abu sa’id yang tertera dalam beberapa kitab ahli sunnah bahwa: Dan kami akan menunjukan padamu orang-orang munafiq melalui perkataan mereka karena kebencian mereka pada Ali bin Abi Thalib(as). Pada masa Rasulullah (saw) kami mengenal orang-orang munafiq hanya melalui kebencian dan permusuhan mereka kepada Ali bin Abi Thalib (as).

8 Ayat Pertanyaan (Masuu’luun)

“Dan tahanlah mereka (di tempat perhentian) Karena Sesungguhnya mereka akan ditanya”. (Assafat ayat 24)

Dalam sebuah riwayat dari Rasulullah (saw) yang tercantum dalam kitab Syawahid Al-Tanzil, dikatakan bahwa beliau bersabda: Aku dan Ali akan berhenti di sebuah jalan (shirath), dan kami akan menanyakan kepada setiap orang yang akan melewatinya mengenai wilayahnya terhadap Ali (as), siapa saja yang memiliki wilayahnya, maka dia akan selamat dan siapa yang tidak memilikinya maka akan kami jatuhkan dia kedalam api neraka. Dan inilah arti dari ayat: tbqä9qä«ó¡¨B ó ( Nåk¨XÎ) OèdqàÿÏ%ur

9. ayat 7 Surah Al bayinah
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. Setelah diturunkan ayat ini setiap kali imam Ali (as) datang mereka berkata: Khairul barriyah (sebaik-baiknya makhluk) telah datang[2]

10 surah Al-Insan
Para ulama sunny mengatakan bahwa surah ini mengenai keutaan imam Ali (as)

(Dikutip dari kitab Syawadid Altanzil, karya Hakim Al-Hasakaani Al-Hanafi, salah satu kitab dari kitab-kitab Ahlu sunnah dan kitab Peyame Quran, karya Ayatullah Makarim Syirazi, yang dikumpulkan sebagai ayat-ayat berkenaan dengan keutamaan Imam Ali (as). Dan dinukil dari kitab Asynaai ba Nahjul Balagah)


Oleh: Uma Zafazl

[1] ( Musnad Tarmizi. Musnad Ahmad bin Hanbal. Addurrul Mantsur)

[2] Adurrul Mantsur karya Suyuti dinukil dari Jabir bin Abdillah

ʿAli ibn Abi Talib

Commander of the Faithful (Amir al-Mu'minin)
Mohammad adil rais-Caliph Ali's empire 661.PNG
Caliph Ali's empire in 661, light green shows Ali's claim but not controlled.
Reign 656–661[1]
Full name Ali ibn Abi Talib
Titles Father of Hasan (Arabic: Abu Al-Hasan)
Father of Dust/Soil (Arabic: Abu Turab)
Murtada (“One Who Is Chosen and Contented”)
Lion of God (Arabic: Asad-ullah)
Lion (Arabic: Haydar)[1]
First ʿAlī (Turkish: Birinci Ali)
Born October 23, 598(598-10-23)[2],March 17, 599(599-03-17) or March 17, 600(600-03-17)[1]
Birthplace Mecca[1]
Died January 28, 661 (aged 62)
Place of death Kufa[1]
Buried Imam Ali Mosque, Najaf, Iraq
Predecessor Muhammad as Shia Imam/Uthman Ibn Affan as Caliph
Successor Hasan[3]/Muawiya I
Wives Fatimah[1]
Fatima bint Hizam al-Qilabiyya ("Ummu l-Banin")
Offspring Hasan
Husayn
Zaynab
(See:Descendants of Ali ibn Abi Talib )
Father Abu Talib
Mother Fatima bint Asad

Ali bin Abi Thalib Imam.1.

sumber:Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
‘Alī bin Abī Thālib (Arab: علي بن أﺑﻲ طالب, Persia: علی پسر ابو طالب)‎ (599 – 661) adalah salah seorang pemeluk Islam pertama dan juga keluarga dari Nabi Muhammad. Menurut Islam Sunni, ia adalah Khalifah terakhir dari Khulafaur Rasyidin. Sedangkan Syi'ah berpendapat bahwa ia adalah Imam sekaligus Khalifah pertama yang dipilih oleh Rasulullah Muhammad SAW. Uniknya meskipun Sunni tidak mengakui konsep Imamah mereka setuju memanggil Ali dengan sebutan Imam, sehingga Ali menjadi satu-satunya Khalifah yang sekaligus juga Imam. Ali adalah sepupu dari Muhammad, dan setelah menikah dengan Fatimah az-Zahra, ia menjadi menantu Muhammad.
Perbedaan pandangan mengenai pribadi Ali bin Abi Thalib

Syi'ah

Syi'ah berpendapat bahwa Ali adalah khalifah yang berhak menggantikan Nabi Muhammad, dan sudah ditunjuk oleh Beliau atas perintah Allah di Ghadir Khum. Syi'ah meninggikan kedudukan Ali atas Sahabat Nabi yang lain, seperti Abu Bakar dan Umar bin Khattab.

Syi'ah selalu menambahkan nama Ali bin Abi Thalib dengan Alayhi Salam (AS) atau semoga Allah melimpahkan keselamatan dan kesejahteraan.

Sunni

Sebagian Sunni yaitu mereka yang menjadi anggota Bani Umayyah dan para pendukungnya memandang Ali sama dengan Sahabat Nabi yang lain.

Sunni menambahkan nama Ali dengan Radhiyallahu Anhu (RA) atau semoga Allah melimpahkan Ridha (ke-suka-an)nya. Tambahan ini sama sebagaimana yang juga diberikan kepada Sahabat Nabi yang lain.

Sufi

Sufi menambahkan nama Ali bin Abi Thalib dengan Karramallahu Wajhah (KW) atau semoga Allah me-mulia-kan wajahnya. Doa kaum Sufi ini sangat unik, berdasar riwayat bahwa beliau tidak suka menggunakan wajahnya untuk melihat hal-hal buruk bahkan yang kurang sopan sekalipun. Dibuktikan dalam sebagian riwayat bahwa beliau tidak suka memandang ke bawah bila sedang berhubungan intim dengan istri. Sedangkan riwayat-riwayat lain menyebutkan dalam banyak pertempuran (duel-tanding), bila pakaian musuh terbuka bagian bawah terkena sobekan pedang beliau, maka Ali enggan meneruskan duel hingga musuhnya lebih dulu memperbaiki pakaiannya.

Ali bin Abi Thalib dianggap oleh kaum Sufi sebagai Imam dalam ilmu hikmah (divine wisdom) dan futuwwah (spiritual warriorship). Dari beliau bermunculan cabang-cabang tarekat (thoriqoh) atau spiritual-brotherhood. Hampir seluruh pendiri tarekat Sufi, adalah keturunan beliau sesuai dengan catatan nasab yang resmi mereka miliki. Seperti pada tarekat Qadiriyyah dengan pendirinya Syekh Abdul Qadir Jaelani, yang merupakan keturunan langsung dari Ali melalui anaknya Hasan bin Ali seperti yang tercantum dalam kitab manaqib Syekh Abdul Qadir Jilani (karya Syekh Ja'far Barzanji) dan banyak kitab-kitab lainnya.

Riwayat Hidup
Kelahiran & Kehidupan Keluarga
Kelahiran


Ali dilahirkan di Mekkah, daerah Hejaz, Jazirah Arab, pada tanggal 13 Rajab. Menurut sejarawan, Ali dilahirkan 10 tahun sebelum dimulainya kenabian Muhammad, sekitar tahun 599 Masehi[1] atau 600[2](perkiraan). Muslim Syi'ah percaya bahwa Ali dilahirkan di dalam Ka'bah. Usia Ali terhadap Nabi Muhammad masih diperselisihkan hingga kini, sebagian riwayat menyebut berbeda 25 tahun, ada yang berbeda 27 tahun, ada yang 30 tahun bahkan 32 tahun.

Beliau bernama asli Haydar bin Abu Thalib, paman Nabi Muhammad SAW. Haydar yang berarti Singa adalah harapan keluarga Abu Thalib untuk mempunyai penerus yang dapat menjadi tokoh pemberani dan disegani diantara kalangan Quraisy Mekkah.

Setelah mengetahui sepupu yang baru lahir diberi nama Haydar,[rujukan?] Nabi SAW memanggil dengan Ali yang berarti Tinggi(derajat di sisi Allah).

Kehidupan Awal

Ali dilahirkan dari ibu yang bernama Fatimah binti Asad, dimana Asad merupakan anak dari Hasyim, sehingga menjadikan Ali, merupakan keturunan Hasyim dari sisi bapak dan ibu.

Kelahiran Ali bin Abi Thalib banyak memberi hiburan bagi Nabi SAW karena beliau tidak punya anak laki-laki. Uzur dan faqir nya keluarga Abu Thalib memberi kesempatan bagi Nabi SAW bersama istri beliau Khadijah untuk mengasuh Ali dan menjadikannya putra angkat. Hal ini sekaligus untuk membalas jasa kepada Abu Thalib yang telah mengasuh Nabi sejak beliau kecil hingga dewasa, sehingga sedari kecil Ali sudah bersama dengan Muhammad.

Dalam biografi asing (Barat), hubungan Ali kepada Nabi Muhammad SAW dilukiskan seperti Yohanes Pembaptis (Nabi Yahya) kepada Yesus (Nabi Isa). Dalam riwayat-riwayat Syi'ah dan sebagian riwayat Sunni, hubungan tersebut dilukiskan seperti Nabi Harun kepada Nabi Musa.


Masa Remaja

Ketika Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, riwayat-riwayat lama seperti Ibnu Ishaq menjelaskan Ali adalah lelaki pertama yang mempercayai wahyu tersebut atau orang ke 2 yang percaya setelah Khadijah istri Nabi sendiri. Pada titik ini Ali berusia sekitar 10 tahun.

Pada usia remaja setelah wahyu turun, Ali banyak belajar langsung dari Nabi SAW karena sebagai anak asuh, berkesempatan selalu dekat dengan Nabi hal ini berkelanjutan hingga beliau menjadi menantu Nabi. Hal inilah yang menjadi bukti bagi sebagian kaum Sufi bahwa ada pelajaran-pelajaran tertentu masalah ruhani (spirituality dalam bahasa Inggris atau kaum Salaf lebih suka menyebut istilah 'Ihsan') atau yang kemudian dikenal dengan istilah Tasawuf yang diajarkan Nabi khusus kepada beliau tapi tidak kepada Murid-murid atau Sahabat-sahabat yang lain.

Karena bila ilmu Syari'ah atau hukum-hukum agama Islam baik yang mengatur ibadah maupun kemasyarakatan semua yang diterima Nabi harus disampaikan dan diajarkan kepada umatnya, sementara masalah ruhani hanya bisa diberikan kepada orang-orang tertentu dengan kapasitas masing-masing.

Didikan langsung dari Nabi kepada Ali dalam semua aspek ilmu Islam baik aspek zhahir (exterior)atau syariah dan bathin (interior) atau tasawuf menggembleng Ali menjadi seorang pemuda yang sangat cerdas, berani dan bijak.

Kehidupan di Mekkah sampai Hijrah ke Madinah

Ali bersedia tidur di kamar Nabi untuk mengelabui orang-orang Quraisy yang akan menggagalkan hijrah Nabi. Beliau tidur menampakkan kesan Nabi yang tidur sehingga masuk waktu menjelang pagi mereka mengetahui Ali yang tidur, sudah tertinggal satu malam perjalanan oleh Nabi yang telah meloloskan diri ke Madinah bersama Abu Bakar.

Kehidupan di Madinah
Perkawinan


Setelah masa hijrah dan tinggal di Madinah, Ali dinikahkan Nabi dengan putri kesayangannya Fatimah az-Zahra yang banyak dinanti para pemuda. Nabi menimbang Ali yang paling tepat dalam banyak hal seperti Nasab keluarga yang se-rumpun (Bani Hasyim), yang paling dulu mempercayai ke-nabi-an Muhammad (setelah Khadijah), yang selalu belajar di bawah Nabi dan banyak hal lain.

Julukan

Ketika Muhammad mencari Ali menantunya, ternyata Ali sedang tidur. Bagian atas pakaiannya tersingkap dan debu mengotori punggungnya. Melihat itu Muhammad pun lalu duduk dan membersihkan punggung Ali sambil berkata, "Duduklah wahai Abu Turab, duduklah." Turab yang berarti debu atau tanah dalam bahasa Arab. Julukan tersebut adalah julukan yang paling disukai oleh Ali.

Pertempuran yang diikuti pada masa Nabi saw

Perang Badar

Beberapa saat setelah menikah, pecahlah perang Badar, perang pertama dalam sejarah Islam. Di sini Ali betul-betul menjadi pahlawan disamping Hamzah, paman Nabi. Banyaknya Quraisy Mekkah yang tewas di tangan Ali masih dalam perselisihan, tapi semua sepakat beliau menjadi bintang lapangan dalam usia yang masih sangat muda sekitar 25 tahun.

Perang Khandaq

Perang Khandak juga menjadi saksi nyata keberanian Ali bin Abi Thalib ketika memerangi Amar bin Abdi Wud . Dengan satu tebasan pedangnya yang bernama dzulfikar, Amar bin Abdi Wud terbelah menjadi dua bagian.

Perang Khaibar

Setelah Perjanjian Hudaibiyah yang memuat perjanjian perdamaian antara kaum Muslimin dengan Yahudi, dikemudian hari Yahudi mengkhianati perjanjian tersebut sehingga pecah perang melawan Yahudi yang bertahan di Benteng Khaibar yang sangat kokoh, biasa disebut dengan perang Khaibar. Di saat para sahabat tidak mampu membuka benteng Khaibar, Nabi saw bersabda:

"Besok, akan aku serahkan bendera kepada seseorang yang tidak akan melarikan diri, dia akan menyerang berulang-ulang dan Allah akan mengaruniakan kemenangan baginya. Allah dan Rasul-Nya mencintainya dan dia mencintai Allah dan Rasul-Nya".

Maka, seluruh sahabat pun berangan-angan untuk mendapatkan kemuliaan tersebut. Namun, temyata Ali bin Abi Thalib yang mendapat kehormatan itu serta mampu menghancurkan benteng Khaibar dan berhasil membunuh seorang prajurit musuh yang berani bernama Marhab lalu menebasnya dengan sekali pukul hingga terbelah menjadi dua bagian.

Peperangan lainnya

Hampir semua peperangan beliau ikuti kecuali perang Tabuk karena mewakili nabi Muhammad untuk menjaga kota Madinah.

Setelah Nabi wafat

Sampai disini hampir semua pihak sepakat tentang riwayat Ali bin Abi Thalib, perbedaan pendapat mulai tampak ketika Nabi Muhammad wafat. Syi'ah berpendapat sudah ada wasiat (berdasar riwayat Ghadir Khum) bahwa Ali harus menjadi Khalifah bila Nabi SAW wafat. Tetapi Sunni tidak sependapat, sehingga pada saat Ali dan Fatimah masih berada dalam suasana duka orang-orang Quraisy bersepakat untuk membaiat Abu Bakar.

Menurut riwayat dari Al-Ya'qubi dalam kitab Tarikh-nya Jilid II Menyebutkan suatu peristiwa sebagai berikut. Dalam perjalan pulang ke Madinah seusai menunaikan ibadah haji ( Hijjatul-Wada'),malam hari Rasulullah saw bersama rombongan tiba di suatu tempat dekat Jifrah yang dikenal denagan nama "GHADIR KHUM." Hari itu adalah hari ke-18 bulan Dzulhijah. Ia keluar dari kemahnya kemudia berkhutbah di depan jamaah sambil memegang tangan Imam Ali Bin Abi Tholib r.a.Dalam khutbahnya itu antara lain beliau berkata : "Barang siapa menanggap aku ini pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya.Ya Allah, pimpinlah orang yang mengakui kepemimpinannya dan musuhilah orang yang memusuhinya"

Pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah tentu tidak disetujui keluarga Nabi Ahlul Baitdan pengikutnya. Beberapa riwayat berbeda pendapat waktu pem-bai'at-an Ali bin Abi Thalib terhadap Abu Bakar sebagai Khalifah pengganti Rasulullah. Ada yang meriwayatkan setelah Nabi dimakamkan, ada yang beberapa hari setelah itu, riwayat yang terbanyak adalah Ali mem-bai'at Abu Bakar setelah Fatimah meninggal, yaitu enam bulan setelah meninggalnya Rasulullah demi mencegah perpecahan dalam ummat

Ada yang menyatakan bahwa Ali belum pantas untuk menyandang jabatan Khalifah karena umurnya yang masih muda, ada pula yang menyatakan bahwa kekhalifahan dan kenabian sebaiknya tidak berada di tangan Bani Hasyim.

Sebagai khalifah

Peristiwa pembunuhan terhadap Khalifah Utsman bin Affan mengakibatkan kegentingan di seluruh dunia Islam yang waktu itu sudah membentang sampai ke Persia dan Afrika Utara. Pemberontak yang waktu itu menguasai Madinah tidak mempunyai pilihan lain selain Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah, waktu itu Ali berusaha menolak, tetapi Zubair bin Awwam dan Talhah bin Ubaidillah memaksa beliau, sehingga akhirnya Ali menerima bai'at mereka. Menjadikan Ali satu-satunya Khalifah yang dibai'at secara massal, karena khalifah sebelumnya dipilih melalui cara yang berbeda-beda.

Sebagai Khalifah ke-4 yang memerintah selama sekitar 5 tahun. Masa pemerintahannya mewarisi kekacauan yang terjadi saat masa pemerintah Khalifah sebelumnya, Utsman bin Affan. Untuk pertama kalinya perang saudara antara umat Muslim terjadi saat masa pemerintahannya, Perang Jamal. 20.000 pasukan pimpinan Ali melawan 30.000 pasukan pimpinan Zubair bin Awwam, Talhah bin Ubaidillah, dan Ummul mu'minin Aisyah binti Abu Bakar, janda Rasulullah. Perang tersebut dimenangkan oleh pihak Ali.

Peristiwa pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan yang menurut berbagai kalangan waktu itu kurang dapat diselesaikan karena fitnah yang sudah terlanjur meluas dan sudah diisyaratkan (akan terjadi) oleh Nabi Muhammad SAW ketika beliau masih hidup, dan diperparah oleh hasutan-hasutan para pembangkang yang ada sejak zaman Utsman bin Affan, menyebabkan perpecahan di kalangan kaum muslim sehingga menyebabkan perang tersebut. Tidak hanya selesai di situ, konflik berkepanjangan terjadi hingga akhir pemerintahannya. Perang Shiffin yang melemahkan kekhalifannya juga berawal dari masalah tersebut.

Ali bin Abi Thalib, seseorang yang memiliki kecakapan dalam bidang militer dan strategi perang, mengalami kesulitan dalam administrasi negara karena kekacauan luar biasa yang ditinggalkan pemerintahan sebelumya. Ia meninggal di usia 63 tahun karena pembunuhan oleh Abdrrahman bin Muljam, seseorang yang berasal dari golongan Khawarij (pembangkang) saat mengimami shalat subuh di masjid Kufah, pada tanggal 19 Ramadhan, dan Ali menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 21 Ramadhan tahun 40 Hijriyah. Ali dikuburkan secara rahasia di Najaf, bahkan ada beberapa riwayat yang menyatakan bahwa ia dikubur di tempat lain.

Didahului oleh:
Utsman bin Affan-> Khalifah (Sunni) tahun 656–661 Digantikan oleh:Muawiyah I
Didahului oleh:
Muhammad--->Imam Syi'ah (Syi'ah) tahun 632–661 Digantikan oleh:Hasan bin Ali

Keturunan
Ali memiliki delapan istri setelah meninggalnya Fatimah az-Zahra[3] dan memiliki keseluruhan 36 orang anak. Dua anak laki-lakinya yang terkenal, lahir dari anak Nabi Muhammad, Fatimah, adalah Hasan dan Husain.

Keturunan Ali melalui Fatimah dikenal dengan Syarif atau Sayyid, yang merupakan gelar kehormatan dalam Bahasa Arab, Syarif berarti bangsawan dan Sayyed berarti tuan. Sebagai keturunan langsung dari Muhammad, mereka dihormati oleh Sunni dan Syi'ah.

Menurut riwayat, Ali bin Abi Thalib memiliki 36 orang anak yang terdiri dari 18 anak laki-laki dan 18 anak perempuan. Sampai saat ini keturunan itu masih tersebar, dan dikenal dengan Alawiyin atau Alawiyah. Sampai saat ini keturunan Ali bin Abi Thalib kerap digelari Sayyid.

Anak laki-laki
1.Hasan al-Mujtaba
2.Husain asy-Syahid
3.Muhammad bin al-Hanafiah
4.Abbas al-Akbar (dijuluki Abu Fadl)
5.Abdullah al-Akbar
6.Ja'far al-Akbar
7.Utsman al-Akbar
8.Muhammad al-Ashghar
9.Abdullah al-Ashghar
10.Abdullah (yang dijuluki Abu Ali)
11.‘Aun
12.Yahya
13.Muhammad al-Ausath
14.Utsman al-Ashghar
15.Abbas al-Ashghar
16.Ja'far al-Ashghar
17.Umar al-Ashghar
18.Umar al-Akbar

Anak perempuan:
1.Zainab al-Kubra
2.Zainab al-Sughra
3.Ummu Kaltsum
4.Ramlah al-Kubra
5.Ramlah al-Sughra
6.Nafisah
7.Ruqaiyah al-Sughra
8.Ruqaiyah al-Kubra
9.Maimunah
10.Zainab al-Sughra
11.Ummu Hani
12.Fathimah al-Sughra
13.Umamah
14.Khadijah al-Sughra
15.Ummu al-Hasan
16.Ummu Salamah
17.Hamamah
18.Ummu Kiram