Rabu, 12 November 2008

Tawassul / Istighatsah (2); Ayat-Ayat al-Quran tentang Legalitas Tawassul / Istighotsah


Sekarang yang menjadi pertanyaan kita untuk kaum pengikut sekte Wahhaby adalah; Jikalau istighotsah adalah syirik, lantas apakah mungkin para nabi-nabi Allah tadi membiarkan umat mereka melakukan syirik padahal mereka di utus untuk menumpas segala macam bentuk syirik? Jikalau istighotsah dan tawassul syirik, apakah mungkin mereka mengiyakan permintaan kaum musyrik yang justru akan menyebabkan mereka berlebihan dalam melakukan kesyirikan, berarti para nabi itu telah melakukan tolong menolong terhadap dosa dan permusuhan (ta’awun ‘alal istmi wal ‘udwan)? Naudzubillah min dzalik. Jika istighotsah dan tawassul adalah perbuatan sia-sia maka, apakah mungkin para nabi membiarkan –bahkan meridhoi dan mengajarkan- umat mereka melakukan perbuatan sia-sia dimana kita tahu bahwa pebuatan sia-sia adalah perbuatan yang tercela bagi makhluk yang berakal? Apakah para nabi tidak tahu bahwa Allah Maha mendengar dan lagi Maha mengetahui sehingga membiarkan, meridhoi dan bahkan mengajarkan umatnya ajaran tawassul dan istighotsah?

———————————————————————

    Tawassul / Istighatsah (2); Ayat-Ayat al-Quran tentang Legalitas Tawassul / Istighotsah

Setelah kita melihat secara ringkas pembagian pendapat beberapa kelompok berkaitan dengan legalitas Tawassul / istighotsah, pada kesempatan kali ini kita akan mengkaji secara global ayat-ayat al-Quran -yang menjadi pedoman utama kaum muslimin- yang menjelaskan tentang konsep tersebut.

Dalam pandangan al-Quran akan kita dapati bahwa hakekat Istighotsah / Tawassul adalah merupakan salah satu pewujudan dari peribadatan yang legal dalam syariat Allah SWT. Ini merupakan hal yang jelas dalam ajaran al-Quran sehingga tidak mungkin dapat dipungkiri oleh muslim manapun, hatta kalompok Wahhaby, jika mereka masih mempercayai kebenaran al-Quran. Dalam al-Quran akan kita dapati beberapa contoh dari permohonan pertolongan (istighotsah) dan pengambilan sarana (tawassul) para pengikut setia para nabi dan kekasih Ilahi yang berguna untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Hal itu agar supaya Allah SWT mengabulkan doa dan hajatnya dengan segera. Di sini kita akan memberi beberapa contoh yang ada:

1- Dalam surat Aali Imran ayat 49, Allah SWT berfirman: “Dan (sebagai) Rasul kepada Bani Israil (yang Berkata kepada mereka): “Sesungguhnya Aku Telah datang kepadamu dengan membawa sesuatu tanda (mukjizat) dari Tuhanmu, yaitu Aku membuat untuk kamu dari tanah berbentuk burung; Kemudian Aku meniupnya, Maka ia menjadi seekor burung dengan seizin Allah; dan Aku menyembuhkan orang yang buta sejak dari lahirnya dan orang yang berpenyakit sopak; dan Aku menghidupkan orang mati dengan seizin Allah; dan Aku kabarkan kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di rumahmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu adalah suatu tanda (kebenaran kerasulanku) bagimu, jika kamu sungguh-sungguh beriman”.
Dalam ayat di atas disebutkan bahwa para pengkut Isa al-Masih bertawassul kepadanya untuk memenuhi hajat mereka, termasuk menghidupkan orang mati, menyembuhkan yang berpenyakit sopak dan buta. Tentu, mereka bertawassul kepada nabi Allah tadi bukan karena mereka meyakini bahwa Isa al-Masih memiliki kekuatan dan kemampuan secara independent dari kekuatan dan kemampuan Maha Sempurna Allah SWT, sehingga tanpa bantuan Allah-pun Isa mampu melakukan semua hal tadi. Mereka meyakini bahwa Isa al-Masih dapat melakukan semua itu (memenuhi berbagai hajat mereka) karena Isa memiliki ‘kedudukan khusus’ (jah / wajih) di sisi Allah, sebagai kekasih Allah, sehingga apa yang diinginkan olehnya niscaya akan dikabulkan oleh Allah SWT. Ini bukanlah tergolong syirik, karena syirik adalah; “meyakini kekuatan dan kemampuan Isa al-Masih (makhluk Allah) secara independent dari kekuatan dan kemampuan Allah”. Dan tentu, muslimin sejati tidak akan meyakini hal tersebut. Namun aneh jika kelompok Wahhaby langsung menvonis musyrik bagi pelaku istighotsah kepada para kekasih Ilahi semacam itu.

2- Dalam surat Yusuf ayat 97, Allah SWT berfirman: “Mereka berkata: “Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa)””.
Jika kita teliti dari ayat di atas maka akan dapat diambil pelajaran bahwa, para anak-anak Yakqub mereka tidak meminta pengampunan dari Yakqub sendiri secara independent tanpa melihat kemampuan dan otoritas mutlak Ilahi dalam hal pengampunan dosa. Namun mereka jadikan ayah mereka yang tergolong kekasih Ilahi (nabi) yang memiliki kedudukan khusus di mata Allah sebagai wasilah (sarana penghubung) permohonan pengampunan dosa dari Allah SWT. Dan ternyata, nabi Yakqub pun tidak menyatakan hal itu sebagai perbuatan syirik, atau memerintahkan anak-anaknya agar langsung memohon kepada Allah SWT karena Allah Maha mendengarkan segala permohonan dan doa, malahan Yakqub menjawab permohonan anak-anaknya tadi dengan ungkapan: “Ya’qub berkata: “Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha penyayang””(QS Yusuf: 98).

3- Dalam surat an-Nisa’ ayat 64, Allah SWT berfirman: “Dan kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya Jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”.
Dari ayat di atas juga dapat diambil pelajaran yang esensial yaitu bahwa, Rasululah SAW sebagai makhluk Allah yang terkasih dan memiliki kedudukan (jah / maqom / wajih) yang sangat tinggi di sisi Allah sehingga diberi otoritas oleh Allah untuk menjadi perantara (wasilah) dan tempat meminta pertolongan (istighotsah) kepada Allah SWT. Dan terbukti (nanti kita akan perjelas dalam kajian mendatang) bahwa banyak dari para sahabat mulia Rasul yang tergolong Salaf Saleh menggunakan kesempatan emas tersebut untuk memohon ampun kepada Allah SWT melalui perantara Rasulullah SAW. Hal ini yang menjadi kajian para penulis Ahlusunnah wal Jamaah dalam mengkritisi ajaran Wahhabisme, termasuk orang seperti Umar Abdus Salam dalam karyanya “Mukhalafatul Wahhabiyah” (Lihat: halaman 22).

Sekarang yang menjadi pertanyaan kita untuk kaum pengikut sekte Wahhaby adalah; Jikalau istighotsah adalah syirik, lantas apakah mungkin para nabi-nabi Allah tadi membiarkan umat mereka melakukan syirik padahal mereka di utus untuk menumpas segala macam bentuk syirik? Jikalau istighotsah dan tawassul syirik, apakah mungkin mereka mengiyakan permintaan kaum musyrik yang justru akan menyebabkan mereka berlebihan dalam melakukan kesyirikan, berarti para nabi itu telah melakukan tolong menolong terhadap dosa dan permusuhan (ta’awun ‘alal istmi wal ‘udwan)? Naudzubillah min dzalik. Jika istighotsah dan tawassul adalah perbuatan sia-sia maka, apakah mungkin para nabi membiarkan –bahkan meridhoi dan mengajarkan- umat mereka melakukan perbuatan sia-sia dimana kita tahu bahwa pebuatan sia-sia adalah perbuatan yang tercela bagi makhluk yang berakal? Apakah para nabi tidak tahu bahwa Allah Maha mendengar dan lagi Maha mengetahui sehingga membiarkan, meridhoi dan bahkan mengajarkan umatnya ajaran tawassul dan istighotsah?

Jikalau benar bahwa ajaran Istighotsah / tawassul adalah perbuatan syirik, bid’ah, sia-sia, khurafat, akibat tidak mengenal Allah yang Maha mendengar doa, dst….maka Oh betapa bodohnya –naudzuillah min dzalik- para nabi Allah itu tentang konsep ajaran Allah…dan Oh betapa cardasnya –naudzubillah min dzalik- Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi beserta para pengikut sektenya terhadap ajaran murni Ilahi….

Oleh karena itu wahai saudara-saudaraku muslimin, marilah kita simak kebodohan-kebodohan Wahhaby tentang berbagai ajaran Ilahi berdasarkan ayat-ayat al-Quran, as-Sunnah Rasulillah, prilaku Salaf Saleh dan fatwa para pemuka mazhab Ahlusunnah, walaupun para pengikut Wahhaby tetap merasa benar sendiri dengan bekal kecongkakan dan kebodohannya

Tidak ada komentar: